There's No Goodbye

21:45 LuqyLugy 0 Comments


Based IU feat. Suga song titled Eight and DAY6 song titled Colors

Everything comes and goes as they wish, even without goodbye.
- Eight By IU feat. Suga.

Kenapa semua orang seakan egois atas keputusannya sendiri. Kamu, egois. Tak ada cerita yang tak ku dengarkan. Tak ada rasa yang aku lewatkan untuk ku mengerti. Aku bingung haruskah aku memohon maaf padamu atau haruskah aku marah padamu? Apakah kamu bahagia? Masih ada rasa sakit? Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan keputusan kamu baik atau tidak. Aku tidak ingin menyalahkan dan mencoba berhenti untuk marah padamu. Maaf. Aku marah. Bahkan aku tak mampu menemui mu. Baru ini aku berani melangkahkan kaki ku padamu.



Suara pecahan barang terus menerus beradu. Bukan, itu semua tidak terjadi. Bahkan saat ini perempuan yang sedang menutup kedua telinganya itu sedang berada di pinggir sungai yang tenang, jadi bagaimana bisa ada suara pecahan barang? Semua itu terlintas dan terus terdengar hanya ada pada dirinya sendiri. Dia bahkan tidak bisa mengendalikannya. Kontrol akan dirinya sendiri hilang. Membuatnya hanya bisa meringkuk dengan kedua telinga yang ditutupnya, air matanya terus menerus mengalir.

Orang- orang yang berada di dekatnya merasa aneh dan bingung. Sebagian dari mereka berpikir mungkin saja perempuan tersebut sedang ada masalah yang sulit untuk diatasi oleh dirinya dan membuat dia menangis seperti itu.

Seseorang menepuk pundak perempuan itu. Dia sama sekali tidak menggubris tepukan itu, terus menerus menangis dengan menutup kedua telinganya. Matanya yang tertutup dan hanya suara-suara itu yang menguasai dirinya. Orang tersebut berusaha menjauhkan sepasang tangan itu dari sepasang telinga yang sejak tadi ditutup oleh perempuan itu.

“Gak ada apa-apa. Ada gue di sini. Everything’s fine. Tenang oke?” Suara itu membuat dia tersentak dan membuka kedua matanya, kedua tangannya mengikuti arah genggaman si pemilik suara itu.

“Suaranyaa.. masih ada” lirih perempuan itu dan masih mencoba melawan suara-suara yang ada di kepalanya.

“Sekarang coba tarik napas pelan-pelan ya...” Lelaki itu yang sedari tadi menolongnya mencoba melepaskan kedua tangannya. Wanita itu mengikuti arahan lelaki itu, pelan-pelan berangsur dia menjadi tenang. Walaupun pada wajahnya masih ada bekas air mata yang masih belum mengering.

“Maaf..” Akhirnya keluar satu kata dari perempuan itu.

“Sejak kapan Le?” laki laki itu masih menatap Lea, perempuan yang sejak tadi berjuang dengan dirinya sendiri. Melihat Lea seperti tadi membuat Haekal merasa menjadi orang yang tidak pernah ada untuknya. Gagal jadi teman yang selalu bisa ada untuk Lea.

“Haahh.. gak tau Kal. Dulu cuman kebayang aja, akhir-akhir ini makin keras suara-suara yang ada di kepala gue.” Lea menjawab pertanyaan Haekal tanpa menatapnya. Dia tidak tau harus bersikap seperti apa dia pikir pertemuan hari ini tidak akan menjadi buruk seperti ini. Dia sudah sering mengalami ini tetapi tidak pernah di depan banyak orang. Dia juga mencoba mencari tau apa yang membuat dia seperti ini. Nihil. Keluarganya baik-baik saja malah bisa dibilang Lea merupakan anak dari keluarga yang bahagia.

Haekal mendengus nafasnya dengan kasar. Dia merasa bersalah kala Lea pernah bercerita kalau dia sering terbayang-bayang banyak barang yang pecah tapi hanya sebatas itu. Dia tidak menanggapi lebih lanjut karena memang Lea anaknya seperti itu, akan bercerita hal-hal random yang kadang tak bermakna.

“Yaudah sihh.. udah gapapa ini, tuh. Yuk anterin cuci muka.” Ajak Lea, seolah-olah apa yang terjadi itu adalah luka jatuh di lutut akibat dia tidak terlalu memperhatikan jalan. Haekal merasa tidak baik-baik saja.

“Ke psikolog Le. Gue gak mau tau, gue cariin psikolog lo ke situ.” Keputusan Haekal menjadi putusan final yang tidak bisa diganggu gugat oleh Lea. Lea hanya mengangguk dan tersenyum. Semoga keputusan ini tidak akan berlanjut menjadi suatu hal yang lebih besar.

Haekal tidak pernah tau bahwa itu awal dari sebuah perpisahan yang dengan mudahnya dilakukan oleh seorang Lea.

...

I’ve been quietly living in a deep tunel
I can’t see anything
I can’t feel anything
- Colors by Day6

Aku membenci diriku sendiri. Semakin aku menyayangi aku, semakin pula suara-suara itu terdengar. Dokter bilang dicoba untuk terapi perilaku bahwa semua ini adalah halusinasi, tetapi semua itu terasa amat sangat nyata untuk ku. Semakin aku mengurung diri, suara-suara itu semakin menghilang. Apakah memang aku tidak berhak bersama manusia-manusia lainnya bahkan mungkin makhluk hidup lainnya? Bukankah manusia diciptakan untuk hidup berdampingan? I hate me.

Suara dering telfon ku terdengar, aku enggan mengangkatnya. Haekal. Dia sepertinya cukup pintar untuk menyadari bahwa aku mulai menjaga jarak darinya. Sejak kejadian di pinggir sungai itu, dia semakin sering menghubungi ku. Aku pun tak menyalahkannya, aku hanya bingung. Aku ingin sekali ada seseorang yang selalu berada di samping ku untuk meyakinkan aku bahwa itu semua tidak ada. Namun semakin ada orang yang berada di dekatku, aku semakin mendengar teriakan-teriakan dan juga pecahan barang itu semakin jelas. Aku benar-benar membencinya.

Ahh… sepertinya Haekal belum mau menyerah sekarang orang itu mengetuk pintu apartemen ku. Bukan mengetuk, tetapi memukulnya dengan paksa.

“Leaaaa.. gue tau yaa lo di dalem. Buka, sebentar aja.” Aku tersenyum mendengar suaranya.

Aku merindukan lelaki ceria itu. Aku merindukan dia mengomel tiada hentinya. Aku merindukan dia yang selalu berkata “Le… gak boleh begitu hidup itu yaaa… emang susah” Setiap aku mengeluhkan pekerjaanku.

Haekal, hanya dia sepertinya yang membuatku tidak meninggalkan dunia ini dengan mudahnya.

Segera ku buka pintu apartemen ku, telat sedikit saja kupikir dia akan menghancurkan pintu itu. Dasar Haekal.

Belum saja aku mengucapkan satu patah kata, dia sudah menerobos masuk dengan sekantong plastik di tangannya. Itu makanan, aku jadi semakin merasa bersalah dengannya, pasti amat merepotkan.

“Repot-repot bener bawain makanan. Ampun enak-enak lagi, ada Soto Betawinya Kak Ros. Pinter bener dah milih makanannya Kal.” Padahal tadi aku mengatakan merepotkan yaaa.

Haekal orang yang sulit, dia akan semakin sungkan jika diucapkan terima kasih. Hubungan kami juga jarang dengan adanya kata terima kasih, kami memiliki cara berterima kasih sendiri seperti persahabatan lainnya.

“Loh kok pintunya di tutup bentar dulu, masih ada tamu di luar” Kata-kata Haekal menahan ku menutup pintu apartemen ku.

Tamu katanya? loh kok gak barengan masuk aja sama dia. Emang gak punya kaki apa? Mau tak mau aku menengok ke luar pintu. Keranjang kucing? eh?

“Ini?” tanya ku menganggkat keranjang kucing itu.

“Jangan diangkat kek begitu Leeeaakk. Buset dah, taro lagi itu terus buka pintu kandangnya.” Haekal dan segala celotehannya yang memarahi ku. Aku terbiasa, kadang hal-hal seperti ini yang membuat ku lupa dengan suara-suara menakutkan itu, seolah tergantikan dengan suara cemprengnya yang mengomeli ku.

Aku menuruti kata Haekal dan mulai membuka pintu rumah kecil kucing itu. Makhluk kecil itu malu-malu keluar dari rumah kecilnya dan berlari dengan cepat ke belakang rak buku ku. Sangat lucu.

Aku langsung menatap Haekal dengan tatapan semangat dan juga terima kasih. Ku rasa hadiah ini lebih baik daripada Soto Betawi Kak Ros. Haekal selalu bisa membantu ku merasa baik-baik. Seandainya saja… Aku hanya mampu membantin dan terus berkata seandainya.


As someone once said to comfort me
it's not easy to forget even a handful of memories
- Eight by IU feat. Suga

“Lee… kenapa yaa yang namanya Soto Betawi Kak Ros?” Tanya Haekal tiba-tiba. Saat ini mereka memang sedang makan di Kedai Soto Betawi Kak Ros.

Soto betawi Kak Ros akhir-akhir ini menjadi favorit mereka berdua. Dalam seminggu bisa sampai empat kali mereka makan disini sampai Kak Ros sudah hapal sama dengan pesanan mereka. Menurut Lea, Kak Ros sudah tidak bisa dikatakan Kak Ros lagi tapi Buk Ros. Pernah suatu hari Lea tidak sengaja menanyakan total yang mereka makan dengan sapaan Ibu. Eh, Kak Rosnya sewot, gak terima.

“Lahhh si Eneng, ini Kedai namanya aja Kak Ros, jadi manggilnya harus KAK dong yaa.”

Lea dan Haekal melongo dan akhirnya tersenyum sungkan sambil manggut-manggut saja, beruntung kedai itu memiliki soto yang enak jadi permasalahan sapaan tidak menjadi masalah bagi mereka berdua. Haekal malah menganggap itu lucu.

“Ya gegara jual Soto Betawi terus yang jual namanya Ros?” Jawab Lea seadanya, dia tidak ambil pusing.

“Coba deh Le, masa yaaa ini kan Soto Betawi tapi yang jual Kak Ros. Harusnya mah yaaa jualnya ayam goreng Upin Ipin aja sekalian.” Jawab Haekal. Lea baru mengerti arah pembicaraan ini.

Ahh… Upin Ipin, Kak Ros. Anjir Haekal. Batin Lea, tidak habis pikir dengan keabsurdan Haekal. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya

“Jayus lo. Gak lucu.” Lea tak habis pikir dengan sahabatnya ini.

“Ihh siapa yang ngelucu dah ikan Lele. Gue cuman nanya doang.” Haekal mendengus lalu melanjutkan makannya.

Saat bayar Lea iseng bertanya kenapa nama kedainya Soto Betawi Kak Ros.

“Dulu namanya itu Soto Betawi Buk Rositaahh, Neng. Tapi kok sepi. Nah pas anak-anak saya nonton Ipin Upin, saya jadi terinspirasi dari Kak Ros. Saya sama suami mutusin buat ubah nama deh, Neng.” Cerita Si Kak Ros yang ternyata namanya juga Bu Rositah.

“Tuh kan bener kata gue” Haekal berbisik pada Lea yang lansung mendapat sikutan di pinggangnya.

Gila ini cewek baru makan tenaganya dah kek kuda, sakit brooowww. Batin Haekal sambil mengaduh kecil.

“hahah bisa gitu yaa Bu.” Lea menanggapi sambil menunggu uang kembalian yang belum juga diberikan oleh Bu Rositah.

“Ihh si Neng, Jangan Ibu. KAK Ros. Ini yang bikin laris kedai saya Neng."

Akhirnya uang kembalian yang ditunggu berada juga ditangan Lea. Mereka berdua pamit, tidak mau berlama-lama takut ketularan absurdnya sama Si Ibu. Si Haekal aja udah mulai-mulai aneh tingkahnya.

Saat mereka menunggu bis transjakarta yang lewat ada seekor kucing yang tiba-tiba mengelus kaki kiri Lea. Lea langsung mengeluarkan makanan kucing yang memang selalu disimpan di tasnya kalau-kalau hal seperti ini terjadi. Haekal sudah tau dan terbiasa melihat hal itu. Lea dan hobinya memberikan makan kucing jalanan. Kalau saja mereka tidak sibuk seperti saat ini, mereka sudah pasti akan ikut volunteer hewan jalanan. Sayang jadwal kerja mereka berdua yang tidak bersahabat membuat mereka hanya bisa melakukan hal seperti ini.

Hanya saja Haekal heran kenapa Lea tidak pernah mau memelihara peliharaan di apartemennya padahal tidak ada larangan tidak boleh memelihara hewan di apartemennya.

Menurut Haekal setiap orang itu punya sisi yang gak banyak orang tau yang bahkan ada orang yang tidak tau sama sekali. Sisi Lea yang gak banyak orang tau penyayang sama hewan yang sama sekali gak cocok sama mukanya yang jutek, sifatnya yang gak mau tau urusan orang lain, cuek, pokoknya gak cocok banget sama image-nya Lea buat sayang sama binatang. Yang cocok sama imagenya Lea? Tante-tante galak yang gak nikah-nikah, nah itu baru cocok menurut Haekal.

“Ngapain lo ngelamun?” Tanya Lea menengur Haekal yang sedari tadi diam saja ketambah melihat Lea memberikan makan kucing sampai sebegitunya. Lea merasa aneh seperti bukan Haekal.

“Gak cocok sama image lo Le, muka sama kelakuan.” Haekal menjawab iseng sambil senyum. Langsung saja mendapat pukulan di bahunya.

“Nah kan keluar cowoknya.” Ringis Haekal.

“Sampah, emang Haekal gak bisa di kasi hati.” Lea melongos meninggalkan Haekal dan masuk ke busway yang sejak tadi mereka tunggu.

“Lo kapan kasi gue hati sihh Le… Lo ngasi gue tabokan mulu tau.” Haekal menunjuk bahunya yang tadi mendapatkan hadiah spesial dari Lea.

“Gue tau yaaa isi pikiran lo, gue sampe bosen. Muka gue cocoknya perawan tua kan? Makanya sebelum lo ngomong gue tabok duluan” jawab Lea galak.

“Dih… tuhkan emang bener. Tapi senyum lebih cantik kok Le, gak mirip perawan tua.” Rayu Haekal sambil mencolek-colek dagu Lea.

“Berani lo pegang-pegang gue lagi, gue lapor pelecehan seksual yaa.” ancam Lea. Kalau sudah seperti ini Haekal tidak berani mengganggu Lea lagi, Lea itu bisa jutek banget. Terlebih dia juga akan benar-benar di laporkan ke polisi. Lea dan ancamannya terkadang menegrikan juga nyata.

“Ampun ibunda ratu.” Haekal membungkukkan badannya seolah meminta maaf.

Lea tersenyum melihat tingkah sahabatnya.


I'm running out of breath
As I run to the deep ocean
- Colors by Day6

Pernah tahu gak kalau binatang peliharaan itu bisa banyak banget membantu menjadi lebih baik? Cimo, kucing yang bilang hari dianter sama Haekal ke apartemen ku banyak sekali membantu. Anak kucing itu sekarang sudha mulai tumbuh menjadi kucing nakal dan manja. Ada saja tingkahnya setiap hari. Tapi aku mulai menyayanginya. Dia yang setiap pagi akan membangunkan ku menciumi wajah pagi ku. Aku tau kalau dia hanya sedang lapar dan sedang melakukan imbalan untuk segera dibeirkan sarapannya. Aku senang rasanya seperti diperhatikan.

Kapan terakhir kali aku merasa diperhatikan yaa sama sosok manusia?

Cimo kucing kecil itu terus saja berlari mengejar bola yang aku belikan belum lama ini. Aku jadi teringat Haekal, sekarang setiap jalan sama Haekal pasti aku akan mampir sebentar ke pet shop untuk sekedar membeli cemilan Cimo.

“Cimoo terus.. cimooo muluk. Udah namanya gak jelas asal usulnya. Gue sebagai bapaknya gak setuju yaa namanya Cimo.” Protes Haekal tapi ettap mengikuti masuk ke dalam pet shop.

“Sejak kapan lo jadi bapaknya? lo udah gituan sama emaknya Cimo?” jawab ku asal.

Aku yang saat itu sedang memilih cemilan minggu ini untuk Cimo langsung saja mendapatkan toyoran, untung tidak terlalu keras kalau keras bisa bisa kepala ku menabrak rak yang berada di depan ku. Aku mendelik ke arah bocah yang sedang memilih makanan untuk Cimo. Selama ini Haekal memang berperan penting dalam memberikan tumbuh kembang ananknya itu. Seperti aku menyediakan tempat berlindung bagi anak kami-hmm.. anak kami?-dan Haekal akan bertanggung jawab dengan makanannya. Walaupun aku juga tidak keberatan membelikan Cimo makanan juga namun terkadang Haekal sudah siap sedia bahkan sebelum makanan yang sebelumnya habis. Yaa.. aku terkadang hanya membelikan Cimo cemilannya saja.

“Lee.. serius ini gue nanya kenapa sih namanya Cimo.” Dia menatapku. Aku baru tau mata Haekal ternyata cantik. Aku hanya mengakui bahwa mata dia cantik tidak dengan kelakuannya.

“Seratus dua puluh ribu Pak. Kalo Ibunya sembilan puluh ribu.” Suara Mbak kasir mengintrupsi acara tatap menatap kami. Aku menjadi salah tingkah.

lagian kenapa gakk fokus gitu Le, cuman Haekalllllll. Haekal mengeluarkan martu debitnya aku pun begitu.

“Sendiri-sendiri gue gak mau lo bayarin.” Aku sudah terlalu sering sepertinya menerima uang bocah ini, padahal aku bukan siapa-siapanya.

“Siapa juga mau yang bayarin Lo, dih kepedean.” Ledek Haekal

“Ini mba cantik, PISAH YA” dia menekankan kata pisah pada Mbak kasir itu.

Aku mendeliknya lagian centil banget bilang-bilang cantik ke orang.

Setelah keluar dari pet shop itu Haekal gak berhenti nanya soal pemberian nama anaknya.

“Yaa.. gak tauuu gue suka aja sama kata mo. Terus ngeliat dia kek cimol jadi gue panggil aja Cimo.” Kesal sebenarnya, capek banget harus ngejelasin yang aku sendiri gak tau asal usul nama itu.

“Anjiirrrr….. darimana mirip cimolnya si Cimo, Leaaaakkkk” Haekal gemes banget dari nada suaranya. Aku hanya mengangkat kedua bahu ku malas menanggapi Haekal dengan kata-kata.

Kalau dipikir-pikir memang Cimo itu gak ada mirip-miripnya sama cimol. Anaknya Haekal itu justru lebih mirip salju, bola salju yang ditambahi bulu tebal-tebal. Aku juga tidak tau darimana Haekal mendapatkan anaknya

Dengkuran halus Cimo yang berada di paha ku menyadarkan aku dari kenangan kejadian beberapa minggu yang lalu. Haekal yaa? Dia orang yang sama sekali tidak ku harapkan untuk terjatuh padanya. Orang yang sama sekali tidak ku harapkan akan bergantung padanya. Orang yang aku takutkan untuk ku sakiti lebih dalam, aku takut merepotkannya lebih jauh atas aku. Haekal tidak pernah keberatan atas apa yang aku alami. Tetapi aku keberatan dengan segala yang dia lakukan. Membenci harus berutang dengan seseorang. Ah… berutang, balas budi, tidak enak menyakiti seseorang hanya karena dia telah baik oleh kita lalu aku jadi menuruti semua apa yang diinginkan. Aku benci. Aku tau semua itu tidak semua orang seperti itu tapi seolah luka lama itu terbuka kembali atas kebaikan seseorang. Luka kecil yang entah sejak kapan terus menerus membuat membenci kebaikan seseorang. Luka yang entah sejak kapan menjadi besar membuat ku mendengar suara-suara aneh itu. Membuat aku tidak memiliki kontrol atas diriku sendiri. Aku benci aku.

Lo pengecut Lea.
Lea lo cuman bisa ngerepotin orang aja.
Lo gak bisa apa ngelakuinnya sendiri?
Le.. kita hidup di dunia ini harus ada timbal balik, lo cuman bisa buat luka Le. Just go away Lea.
Lea ini bukan diri lo.
Lo lemah Lea! Mending pergi aja Lea. Lo gak bakal kuat.
Sekali lagi Lo bukan cuma pengecut dan pecundang.
LO LEMAH!


There is no promised goodbye there
See you in my memory that is beautiful
- Eight by UI feat. Suga

Haekal berdiri memgang buket bunga Lili berwarna putih dengan dikelilingi oleh bunga baby breath di sekelilingnya dengan jas berwarna hitam dia terlihat sangat tampan. Kaki Haekal bersimpuh pada tempat peristirahatan terakhir sahabatnya. Haekal hanya berdiam diri pada tempat peristirahatan itu, tidak ada ekspresi sedih maupun senyuman dalam wajahnya, tidak ada ucapan apa kabar ataupun selamat tinggal. Genggaman tangan Haekal pada buket bunga indah itu semakin kecang air matanya jatuh secara perlahan membasahi buket cantik itu. Sesekali isakannya terdengar.

“Cimo sehat Le, kalau yang pertama kali lo mau tau itu kabar Cimo. Gimana gak sehat kan yang rawat papinya. Inget gak sih Le, pas lo protes, muka lo gak terima banget denger gue bilang ‘Sini Cimo sama Papi’…”

Haekal tersenyum sejenak lalu melanjutkan ceritanya.

“Lo gak ngertikan Le, kalau itu kode Le. Gue ngajakin lo buat bareng-bareng. Tapi emang dasar lo bego aja Le, pasti lo bakal nyuruh gue keluar. Lo pasti bakal langsung nge-block gue dari hidup lo. Kenapa sih Le lo keras kepala banget gak pernah mau nerima siapa-siapa di hidup lo. Gue cemburu sama Cimo yaa Le. Gue marah Le, lo ambil keputusan sepihak seolah-olah gue selama ini bukan siapa-siapa. Gue juga manusia Le. Gue berhak mutusin buat … bertahan sama Lo, tapi lo gak pernah ngasi gue kesempatan yang bahkan belum gue coba.”

Ucapan Haekal terhenti dia berusaha mengatur nafasnya, terdengar bahwa Haekal menahan emosi bahkan pada orang yang sudah terpisah dimensi dengannya saat ini.

“Begonya gue, gue gak berusaha lebih keras Le buat tetap bertahan di samping lo. Gue kabur, gue ragu atas perasaan gue. Harusnya gue gak ragukan Le? Harusnya gue paksa lo buat rajin ke dokter, harusnya gue lebih sering nengokin Cimo, harusnya gue bisa lebih sering bikin lo marah biar emosi lo keluar. Harusnyaaa…”

Haekal amat menyesali ketidakpekaan dia selama ini. Lea yang tiba-tiba beruabh semakin tertutup yang Haekal pikir memang Lea butuh waktu atas pengakuannya.

“Maaf… Lee… maaifin gue… gue gak becus jadi temen yang baik buat lo. Gue gak bisa ada di samping lo pas lo lagi butuh gue, maaf Le gue bahkan buat lo ragu-ragu buat bersandar sama gue. Maafin gue Le. Lee… bagi gue lo bakal selalu Leakknya gue. Lo bakal selalu jadi maminya Cimo, lo bakal tetap jadi orang favorit gue buat makan di Soto Betawi Kak Ros. Udah gak sakit lagikan Le? Gue gak pernah tau bakal lebih baik atau enggak, walaupun gue benci banget sama keputusan Lo. Gue marah Le, tapi gue berdoa… berdoa selalu sama Tuhan supaya gak menghukum lo terlalu keras. Selamat beristirahat dengan tenang maminya Cimo.”

Setelah selesai memanjatkan doa meminta supaya hukuman Lea jangan keras-keras sama Tuhan. Haekal meletakkan buket bunganya dan hendak pergi meninggalkan tempat peristirahatan itu seseorang menepuk bahunya pelan.

“Haekal kan yaa?” Tanya seorang perempuan cantik itu dengan dress berwarna putih kontras sekali dengan waran pakaian yang digunakan Haekal saat ini.

“Eh iyaa.. hmm.. siapa yaa?” jawab Haekal sambil buru-buru mengusap mukanya takut-takut ada air mata yang ketinggalan. 

Gara-gara lo nih Le.

“Ah.. ini titipan dari Lea.” Wanita itu memberikan sebuah amplop berwarna putih gading. Khas Lea sekali. Haekal mengambil amplop itu dengan tatapan bingung.

Melihat tatapan bingung Haekal wanita itu melanjutkan perkataanya “Ah.. ketemu di apartemennya. Kode lacinya yang gak bisa di buka orang.”

“lo bisa buka?” Haekal tambah bingung, setau dia memang Lea tidak pernah memberikan seseorang kode laci itu dan setau Haekal lagi, wanita yang ada di depannya ini tidak pernah ada dalam daftar pertemanan Haekal. Haekal hampir tau semua teman Lea, kecuali temannya ini.

“Kenalin gue Bila. Lea gak pernah cerita tentang gue karena kita emang setahun ini cuman komunikasi singkat, gue lanjut sekolah di luar, sebelum dia kenal sama Lo. Diaa…” Bila menunjuk tempat Lea berada saat ini dan lanjut berkata “emang nyebelin. Bacanya di apartemen aja yaa bareng Cimo. Sekarang gantian gue yang tuker cerita sama Lea ya”

Haekal hanya mengerjapkan kedua buah matanya, bingung.


The colors of you that I see from time to time
It rises me up because
You're the only one with you own color
- Colors by Day6

Dear Cimo,
eh salah deng.
Dear Haekal a.k.a Papinya Cimo a.k.a Sahabat gue,

Enggak Kal, gue tau lo bakal protes harusnya gue tulis sahabat terbaik tapi belum. Strata lo belum sampe situ. Gue bercanda. Gue buat surat ini mungkin sewaktu-wkatu gue bakal buat keputusan bodoh. Psikiater gue bilang, trauma masa lalu gue cukup hebat. Gue gak bisa jujur sama lo, bahkan gue berusaha kuat sendiri. Tapi ternyata salah yaa gak semudah yang kita bayangkan. Ralat, gak semudah yang gue bayangkan. 

Haekal gue minta maaf kalau keputusan gue nantinya bakal buat lo nyalahin diri lo sendiri. Kal yang lo harus terus yakini gue emang tolol. Bukan elo. Elo salah satu alasan gue bisa bertahan lebih lama, lo salah satu alasan gue mau buat sehat. Jadi jangan terlalu lama terjebak sama pikiran lo yang harusnya dan harusnya. Karena yang lo lakuin itu sudah amat sangat buat gue bertahan Kal.

Kalau gue boleh milih kenangan baik mana aja yang mau gue bawa, pasti kenangan sama lo bakal jadi kenangan prioritas yang bahkan kalau misalnya bawa kenangan ada kuotanya bakal gue penuhin sama kegiatan lo bareng gue sama Cimo. Ah… padahal Cimo sekarang lagi tidur di pangkuan gue tapi gue udah kangen aja sama Cimo.

“Bodoh…” Lirih Haekal.

Gue gak apa-apa. Gue tau pasti sekarang lo mau bilang ’Stop bilang gak papapa?’ atau bakal bilang ‘Siapa juga yang sedihin lo lama-lama’ hehehe. Gue kangen lo Kal.

“Si bodoh, kalo kangen ngapain ninggalin.” Di hapus air matanya yang sudah membasahi surat tersebut.

Jangan nangis ah Kal, Jelek. Biar Dilan aja…

Kal… elo tau gak? sosok lo yang ceria, absurd, perhatian-perhatian lo itu buat warna sendiri di hidup gue yang gak pernah gue punya. Lo punya warna lo sendiri yang sembarangan aja tanpa ngetuk pintu kehidupan gue masuk. Parahnya lagi semena-mena banget sih lo sama kehidupan gue Kal.

Awalnya gue sebel. lama-lama gue sadar lo orang yang paling besar andilnya dalam hidup gue yang isinya kalo gak hitam ya putih. Makasih banyak Haekal buat adain Cimo dihidup gue. Kenapa namanya Cimo? karena lo Kal. Nama Cimo muncul gitu aja di kepala gue sama kayak lo yang muncul gitu aja di kehidupan gue.

Lazuardi Haekal gue minta maaf. 

With full of love,
Leaknya Haekal.

0 comments: