Langit Malam

21:15 LuqyLugy 0 Comments


Saka merasa hari ini adalah hari yang amat sial baginya. Sejak pagi dia sudah disibukan untuk kegiatannya dengan Hala ke panti asuhan untuk merayakan ulang tahun Saka. Saka berulang tahun seminggu yang lalu tetapi karena saat itu mereka sedang menjalani UTS akhirnya mereka baru sempat merayakannya hari ini. Rencananya hari ini Saka akan bermain bersama dengan anak panti lalu Hala akan menyiapkan kue ulang tahun dengan ibu pengurus panti.

Saka dan Hala memang terbilang rajin mengunjungi panti asuhan itu. Hala tidak sengaja meminta Saka menemaninya mensurvey beberapa panti asuhan untuk kegiatan organisasinya, tetapi ternyata mereka sangat menyukai panti asuhan itu yang berakhir mereka menjadi dekat dengan anak-anak yang tinggal di sana.

Namun baru sampai di depan pintu gerbang panti salah satu teman kampus Saka menelfon.

“Siapa?” tanya Hala yang sudah akan membuka pintu mobil

“Rian.” Dari raut mukanya terlihat sekali kalau Saka tidak ingin diganggu. Jika Rian menelfon sepertinya ini masalah yang cukup serius.

“Sak lo dimana?”

“Lah kan gue bilang ada acara sama Hala di panti?”

“Sakk gawat gue lupa. Gue udah kepalang bilang sama Kak Rey lo bakal otw sini.”

“Lah kenapa?”

“Ada miss di laporan kuangan kegiatan kemarin.”

Saka mengernyitkan kedua alisnya, setahunya laporan pertanggung jawaban yang sudah diselesaikannya kemarin tidak ada masalah. Hanya saja sebagai ketua dia merasa bertanggung jawab lebih.

“Yaudah gue ke sana.”

Saka menghela nafasnya, sudah tertebak oleh Hala kalau Saka hari ini tidak bisa.

So?” Tanya Hala.

“Ke kampus, dicariin Kak Rey soal LPJ. Padahal aku mau main, udah sampe depan pintu panti juga.”

“Yaudah gapapa, ntar kalau udah selesai bisa nyusul ke sini. Aku tetep bikinin kuenya deh sama Ibu.”

Saka memang paham bahwa sahabatnya itu pasti akan menyuruhnya untuk tetap pergi ke kampus. Dia benar-benar kesal dengan Rian saat ini.. oh dengan Kak Rey juga kenapa tidak sejak kemarin dia mengkritik laporan kegiatan itu.

“Yaudah salam sama Ibu, adek-adek juga ya?”

Hala menganggukan kepalanya sembari tersenyum hingga matanya menghilang. Seperti kelinci kalau kata Saka.

….

“Sakk, kunci mobil lo mana?” Suara Rian menghampiri tetapi lelaki ini terlihat sangat bingung ingin mengabari Saka seperti apa. Orang yang menelfonnya hanya mengatakan sebelum mengabari hal ini, dia harus mengambil kunci mobil Saka.

“Buat?” Tanya Saka tidak ambil pusing menyerahkan kunci mobilnya tanpa mengalihkan pandangan dari laporan yang menjadi pertanyaan Kak Rey tadi.

“Hala, kecelakaan parah. Lo gue anter ke rumah sakit sekarang ya.”

Saka langsung menengok ke arah Rian. Beberapa detik dia terdiam. Lalu kemudian tersenyum tenang tetapi Rian bisa melihat kegelisahan yang ada di mata Saka.

“Kenapa mesti lo yang bawa mobilnya? Gue juga gapapa? Pasti gak separah itu? Paling Hala kesandung kayak biasanyakan? Lagian, udah gue bilangin kalo jalan hati-hati pake acara kesandung, masuk rumah sakitkan.” Ucap Saka berusaha santai sambil berdiri. Dia tahu, bahwa ini bukan sekedar kecelakaan biasa. Jika hanya kecelakaan biasa, suara dan senyuman Hala pasti akan langsung menghiasi panggilan video mereka. Hala pasti akan memintanya untuk menjemputnya. Bukan Rian yang meminta kunci mobilnya.

“Sakk…” ucap Rian mengikuti Saka yang sudah berjalan pelan. Lalu tiba-tiba saja Saka berlari ke arah mobilnya, mau tidak mau Rian mengikutinya untuk berlari, saat itu Rian sadar bahwa Mama Saka benar untuk memintanya mengambil kunci mobil itu.

….

Tanah basah dan dipenuhi oleh bunga melati juga mawar putih menutup gundukan tanah pemakaman. Hala Suraiya nama yang tertulis pada nisan itu. Pagi itu cukup tenang jika dibandingkan beberapa jam sebelumnya. Hanya terdengar suara isakan tangis pelan, dan beberapa lantunan doa. Saka terdiam melihat papan nisan tersebut, sesampai dia di rumah sakit dia hanya melihat Mama Hala sudah menangis histeris hingga dipeluk oleh mamanya sedangkan Papa Hala masih mencoba memastikan kabar yang didengar dari dokter yang menangani Hala.

Hala meninggalkan mereka semua.

Padahal bulan depan kamu yang 21 tahun La…
Bulan depan kita bisa wujudin janji kita. Stupid Hala.

Saka merasakan badannya dibawa kepada sebuah pelukan. Pelukan Papa Hala. Papa Hala tahu betapa sakit rasanya menjadi Saka karena persis sebelum kecelakaan tersebut Saka-lah yang menemani Hala. Saka merasa tanggung jawabnya terhadap keselamatan Hala. Saka lalai menjaga Hala. Walau dia berjanji akan menyusulnya tetapi tempat Saka menyusulnya bukan lagi panti asuhan. Bahkan tempat itu mungkin bukan lagi menjadi tempat favoritnya.

Perlahan suara isakan pilu menyeruak. Isakan Saka yang sedari kemarin ditahannya, bahkan saat melihat Hala untuk terakhir kalinya, Saka berusaha tersenyum.

….

Saka tersentak dalam tidurnya. Kali ini dia terbangun dengan seluruh badan yang dibasahi keringat. Beberapa hari yang lalu dia terbangun dengan pusing yang amat sangat menyakitkan. Sejak kejadian seminggu yang lalu rasanya mimpi indah, ah.. bukan.. bahkan tidur yang tenang tidak pernah dirasakannya. Dia selalu teringat senyum Hala terakhir kali.

“Hai….”

Suara Hala. Lagi-lagi halusinasi. Kali ini dia harus benar-benar mendengarkan mamanya untuk konsultasi dengan psikolog. Akhir-akhir ini dia semakin sering melihat Hala. Bahkan sekarang dia bisa mendengar suara Hala.

“Ihh.. Dia belum bisa denger suara aku kali ya?” Tanya suara itu entah pada siapa.

Demi Tuhan Saka bisa mendengarnya tetapi mana mungkin orang yang sudah berbeda alam bisa kembali ke sini, ke dunianya? Dunia di mana mereka masih bisa bernafas dengan baik.

“Masih cuek tuh dia?” Sepertinya suara itu masih terus bertanya.

Jengah karena suara-suara tadi benar-benar sangat berisik akhirnya dia menutup kepalanya dengan bantal

“Berisik! Gue mau tidur!” Teriak Saka.

Sosok itu terkejut. Hala terkejut.

“Sak… bisa denger aku? Wuhuuuuu” Teriaknya tidak kalah dengan suara Saka sambil berusaha menarik-narik bantal yang menutup muka Saka. Walau dia tahu itu mustahil, dunia mereka berbeda. Hala menyadarinya, tetapi dengan Saka mendengarnya dia sudah sangat senang.

Saka semakin membekap bantal menuju wajahnya.

“Sakaaaa! Bangun! Jangan gila!” Kali ini suara yang berbeda, tetapi Saka tetap tidak mau melepaskan bantal itu dari mukanya walau sudah terasa sesak.

“Saka ini mama! Sakaaaaa kamu mau bunuh diri? SAAAAKKKAA!” Hentakan mamanya ini benar-benar membuat Saka terkejut dan bantal itu langsung terlempar.

“oh.. mama.” Sahut Saka yang dibuat sesantai mungkin.

“Yaaa kan dari tadi mama juga bilang kalau ini mama. Yaa Tuhan Saka.” Langsung saja mamanya memeluk Saka.

Pelukan yang paling menenangkan. Saat ini memang Saka membutuhkannya, sebuah pelukan.

Namun sosok itu menghilang. Hala menghilang.

“Kita coba ke psikolog ya Nak?” Bujuk mamanya.

Kali ini Saka mengangguk. Dia lelah.

….

Sejak kontrol dengan psikolog beberapa minggu yang lalu dan mendapat rekomendasi menuju psikiater, Saka mulai bisa tidur tenang. Dokter memberikan dia obat tidur dengan dosis yang ringan. Untuk sementara Saka di diagnosis depresi namun tidak berat karena dia merasakan kehilangan yang begitu dalam secara tiba-tiba.

Tidak. Saka berusaha tidak menyalahkan siapa-siapa. Terlebih seminggu lagi ulang tahun Hala. Dia harus mulai bisa menerima bahwa Hala sudah tidak ada di sini lagi. Move on. Hala juga pasti sudah bahagia. Itu yang terus menerus ditanami oleh Saka.

Kali ini Saka benar-benar terkejut sosok itu kembali ada di dalam kamarnya. Hanya saja saat ini dia sedang tersenyum sambil memandangi satu-satu foto yang sengaja Saka tempelkan di depan meja belajarnya. Banyak foto-foto dengan Hala yang masih dipajang olehnya. Saat mereka baru akrab dengan anak panti atau bahkan sekedar foto bersama di Timezone. Beberapa sengaja Saka lepaskan.

“Dih Saka mah gak asik. Masa foto yang makan eskrim belepotan malah dicopot. Itu kan foto kesukaan aku” keluh perempuan cantik itu. Sepertinya dia tidak sadar kalau yang punya kamar sedang memperhatikannya.

“Dih.. Apaan nih kenapa malah foto makam yang ada di sini. Saka otaknya separo, gak takut apa kalo ada yang datengin. Tapi udah gue datengin juga sih hehe.” celetuknya lagi. Heran. Entah berwujud manusia ataupun seperti sekarang dia tetap sama. Sangat tidak peka.

Saka tetap memandangi dia seolah Hala benar-benar nyata. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengabaikan sosok itu dan mulai merebahkan dirinya di atas kasur, menganggap apa yang dia lihat tadi tidak nyata. Kata dokternya kalau dia mulai ber’halusinasi’ kembali dia harus mengabaikan dan perlahan bilang sama diri sendiri kalau itu semua tidak nyata.

“Eh Saka udah pulang. Yeay. Ih kok mukanya kusut gitu sih? Pasti matkul Pak Amar nih. Bisa-bisanya si Amarudin bikin Saka kusut mukannya, kan minta diseterika.” Cerocos Hala yang akhirnya memutuskan duduk di meja belajar Saka.

Saka hampir saja tersenyum mendengar itu semua. Kalau Hala nyata, dia akan langsung mengacak rambut panjangnya. Yang berujung Hala lah yang bermuka kusut.

Saka memutuskan memasang headset-nya. Tidak benar-benar memasang headset itu. Dia masih bisa mendengar semua ucapan Hala.

“Yah malah pasang headset, kebiasaan. Kan ada orang yaa di depannya. Sok sokan cold gitu padahal mah kalo diajakin makan mie dok dok Mang Ujang mukanya dah kek puppy” Hala memanyunkan bibirnya.

Bete karena tidak mendapatkan perhatian dari Saka. Hala akhirnya berdiri dan melihat kamar sahabatnya.

“Padahal aku setiap hari ke sini dulu dari kita umur 10 tahun. Sejak mulai kuliah kita udah jarang quality time, mungkin karena kita beda ya? Kamu laki-laki aku perempuan. Kamu Arsi aku DKV. Lucu banget. Kalo aku laki-laki kita bakal sering main PS bareng kali ya? Kamu sih setiap aku ikutan main PS malah marahin aku. Aku kan bete.”

Saka ingat sekali pertama kali Hala memegang PS nya dan bermain GTA, saat mengemudikan mobil maka bukan hanya tangannya yang bergerak ke kanan dan kiri tetapi sebadan-badannya juga ikut bergerak. Hal itulah yang membuat Saka gemas yang berujung memarahi Hala.

“Kalo belok yaa belok aja Haaaaaaalllllaaaa. Badan kamu tuh gak usah ikut ke kanan.” Ucap Saka geregetan rasanya ingin mencekik Hala kecil itu. Hala mendengarkan hanya memanyunkan bibirnya. Sampai akhirnya dia menyerah dan memberikan Saka stik PS itu.

“Dah ah Aku capek mau gambar aja!” Pipi gembul itu mengembung. Hala ngambek.

Kenangan-kenangan mereka muncul. Membuat air mata Saka jatuh tanpa sadar.

“Lah Saka kenapa nangis? Duhhh... dia denger lagu sedih apa yaa? Lagian kenapa gak dengerin lagu yang jingkrak-jingkrak sih. Ihh.. Saka jangan nangis dong. Udahan nangisnya.” Hala terlihat panik dia bolak balik di depan kasur Saka. Karena menyentuh Saka saja saat ini dia tidak mampu.

Mendengar itu Saka menyentuh pipinya. Ah benar dia menangis. Dia menekuk lututnya dan kembali menangis dengan cukup keras.

“Yahhh Saka ihhh... cengeng banget. Udahan dong!” Hala semakin panik, masa dia harus melakukannya lagi?

“Apasihhh kamu ganggu?! emang kenapa kalo aku nangis? Hala ini semua gara-gara kamu yaa!”

Hala terkejut. Sudah sejak kapan Saka bisa mendengarnya?

“K-kamu dengar aku?”

Bahkan sekarang Saka menatapnya tepat di bola matanya.

“Hoooooreeeee berhasil Saka denger sama liat aku.” Hala langsung loncat-loncat kegirangan.

“Hahahaa jelek banget muka kamu ingusnya kemana-mana” Ledek Hala.

Saka diam menatap Hala. Hampir saja dia melemparkan hape boba itu, kalau saja dia tidak ingat yang berada di depannya adalah halusinasinya. Saka masih meyakini bahwa orang di depan ini adalah hanya sebuah halusinasi karena dia merindukan sosok Hala. Biarlah kali ini dia bermain dengan halusinasinya. Menerima Hala versi Saka.

Saka melepaskan alat-alat elektronik yang ada di badannya menuju kamar mandi untuk membasuh mukannya.

“Yahhh Saka kok malah pergi? baru aja seneng... oh ke kamar mandi doang.”

Hala menunggu Saka duduk di atas tempat tidurnya sama seperti hari-hari di mana dia belum bisa menampakan diri di depan Saka. Sepertinya saat ini Tuhan sedang baik sekali.

“Eh udah engga ingusan lagi.” Cengiran Hala menyambut Saka dari kamar mandi.

“Ngapain?”

“Nungguin Saka kan?”

“Yaa kenapa gak tidur selamanya aja, ngapain ke sini lagi?”

Pertanyaan Saka benar-benar membuat Hala terdiam sejenak. Saka marah. Sangat marah.

Hala tersenyum. Cantik sekali. Saka sangat merindukan senyuman itu.

“ihh.. marah-marah jelek tau Sak.” Jawab Hala berdiri mensejajarkan pandangannya dengan Saka.

“Auriganya Hala gak boleh marah-marah yaa...” Senyum Hala sama seperti terkahir kali di mobil itu.

Saka dengan mata merahnya, hidung mancung yang sedikit seperti tomat saat ini dan muka bersihnya. Sepertinya sekarang tulang pipi Saka sedikit terlihat menonjol. Saka sakit. Saka lelah.

Maafin Hala yaa Auriga. ucap Hala dalam hatinya

“Makanya Halanya Auriga juga gak boleh pergi-pergi lagi tanpa pamit.” Suara Saka kembali serak.

“Duhhh Sak! Ah udahan melownyaaaa! Berantem ajalah kita! Berantem.” Ucap Hala. Menghancurkan mood sekali.

“Emang dasar anak setan. Makanya kamu gak bisa balik masih banyak dosa sama aku.” Jawab Saka kembali galak. Hilang sudah suara serak itu.

Hala kembali duduk di atas tempat tidurnya Saka. Menyilangkan kedua tangannya di atas dada, berfikir. Mungkin memang benar dia anak setan.

“iya nih Sak. Main ajalah yuk kita. Aku bosen di kamar kamu terus. Kamu juga jarang ke kampus. Payah banget.” Omel Hala.

“Eh bentar, kamu gak anggep aku halusinasi kamu kan?” tanya Hala.

Saka bingung. Memang seharusnya dia menangaggap Hala apa? Benarkan bahwa yang ada di hadapannya ini adalah Hala karyanya?

Hapal dengan reaksi Saka, tidak heran Hala mengetahui dengan mudah isi pikiran Saka saat ini.

“Yaudah gapapa deh kalau kamu anggapnya halusinasi. Padahal aku nyata loh. Yaa cuman kamu aja sih yang liat.” Jawab Hala sambil menggaruk belakang kepalanya.

“Nyata?” ulang Saka.

“Hmm ya nyata. Kayak aku dikasi kesempatan gitu sama Tuhan.”

Saka memundurkan beberapa langkahnya.

Yang dia lihat saat ini Hala yang asli tapi versi gaib?

“Hihi Sakaaaaa...” tiru Hala menaikan tangannya seperti yang ada di film-film horor.

“Apaan sih? tolol.” Saka menoyor kepala Hala. Tapi tangannya bahkan tidak menyentuh apapun. Dia tersenyum miris.

Hala menyadari itu semua. Mungkin memang lebih mudah jika Saka menganggapnya sebagai halusinasi walau sebenarnya yang di hadapan Saka adalah Hala yang asli.

....

“Mah, Saka keluar ya?” izin Saka kepada mamanya yang sedang menonton di ruang keluarga. Tumben. Sejak Hala pergi. Saka jarang sekali mau keluar kamar bahkan untuk makan bersama saja dia sangat susah dibujuk. Mama Saka berpikiran mungkin ini hasil Saka ke dokter kemarin, dia mulai menerima itu semua.

“Mau kemana? Hati-hati.”

“Main aja.”

Dari luar mobil sudah terlihat Hala yang sedang duduk di bangku penumpang dengan sangat senang. Matanya berbinar-binar menantikan jalan-jalan. Saka tersenyum persis sekali seperti saat mereka jalan-jalan dan Hala menunggu Saka di mobil saat Saka harus mampir ke Indomaret membelikannya cemilan.

“Mau kemana?” Saka masuk sambil menghidupkan mesin mobilnya.

“Gramedia.”

Saka mengernyitkan kedua alisnya. Ini juga merupakan hal baru. Biasanya Hala jarang sekali ke Gramedia. Hala bukan tipe orang yang suka membaca buku. Dia lebih suka menggambar pergi ke taman untuk mencari insipirasi.

Sampai di Gramedia, Saka mengikuti Hala berjalan menuju buku sketch? Pantas saja.

“Sak, beli buku sketch. Dua yaaa.. Satu yang sampulnya hitam, satu lagi putih. Gambarnya terserah kamu.”

“Yeee.. dikira duit gue banyak apa.” Dumel Saka.

“Ihh... sekali ini aja?”

Emang bakal ada lain kali? Benak Saka bertanya dan dijawab oleh Saka dengan senyuman miris.

“Heh gila, senyum sendiri. Abis ini kita beli pensil gambar! Aku liat juga di kamar kamu stok pensilnya udah mau abis.”

“Kamu yang bikin gila. Ini aku ngomong sendiri aja keknya ada yang liatin.” ucap Saka sengit.

“Gapapa Saka ganteng jadi gak ada yang deketin dulu.” disusul dengan sebuah kedipan dilakukan oleh Hala.

Melihat itu Saka langsung memasang muka jijik. Bisa-bisanya? Masa iya ini halusinasi gue?

“Sekarang apa lagi?” Tanya Saka saat mereka sudah keluar dari Gramedia dan bersiap untuk menyalakan mesin mobilnya.

“Jalan-jalan aja Sak kayak biasa. Dari pada kita ke luar kamu dianggap gila.” Sambil tersenyum, lagi-lagi senyum itu.

“Coba aku bisa jitak kamu. Kerjainnya nyusahin aja.”

“Galak banget kayak cewek dapet.” Sungut Hala.


“Eh.. Sak liat deh ada anak yang sepedaan. Cewek sama cowok? persis kita dulu ya?” Hala menggapai tangan Saka sambil terus melihat ke arah kedua anak tersebut. Saka sadar dia tidak merasakan apa-apa tetapi dia mengikuti arah pandang Hala, Hala sepertinya tidak merasakannya. Syukurlah.

“Mana?”

“Itu loh Sak… Yang lagi goes sepeda bareng-bareng deket taman. Eh..eh.. Jatuh… Si adek ganteng jatuh”

Terlihat anak kecil yang menggunakan sepeda hitam itu jatuh, mukanya sudah berusaha menahan sakit, mungkin juga tangis. Namun dia berusaha untuk tidak memperlihatkan itu semua di depan anak perempuan dengan sepeda berwarna putih itu.

“Ihhhhh So sweet banget dibantuin sama si cantik. Ihhh.. Gemes banget… si ganteng cuman ngeliatin aja si cantik panik liat lututnya berdarah. Salting yakannn Sak? Persis kamu kalo ditolak cewek, nahan sakit gitu terus aku yang panik mau cari ceweknya. Berani-beraninya nolak sahabat aku?” Jawab perempuan yang saat ini di matanya yang bulat itu sudah dipenuhi emosi sambil terus menatap dua insan kecil itu.

“Kamu yang ditolak. Aku mana pernah?” Saka membela diri sambil melihat jalan yang masih ramai padat merayap, belum menunjukkan tanda-tanda akan jalan.

Sontak Hala langsung menoleh mentap Saka kali ini.

“Kapan aku nembak cowok Sakaaaa? Pernah?”

Hala tidak pernah sama sekali terlihat menembak lelaki, bahkan setiap lelaki yang mendekatinya Hala selalu laporan. Sayang sekali lelaki-lelaki itu tidak pernah ada yang lulus kriteria Saka. Emangnya yang mau pacaran Saka?

“Yaa siapa tau di belakang aku? Lagian aku juga gak pernah nembak cewek yaaa” Jawab Saka acuh.

“Yaa siapa tau di belakang aku?”

Hala 1 : Saka 0

“Eh.. aku ada misi buat kamu, buku gambar yang sampulnya hitam kamu gambarin anak-anak yang tadi yaa tapi make it us.” Pinta Hala

“Ha? Gimana? Make it us?” Permintaan Hala saat ini membuat bingung Saka.

“Kan tadi kita liat jatuh-jatuhan romantis sepeda. Kamu gambar di buku sketch itu tapi buat itu jadi aku kamu. Aku kamu yang ada dalam gambar itu yaaa?”

“Kamu yang nangis? Kayak dulu?” Saka baru ingat bahwa mereka dulu pernah juga memiliki cerita jatuh dari sepeda tapi kali ini yang terjatuh adalah Hala.

“Ya kan kamu ninggalin aku sih!”

“Siapa yang ninggalin? aku tungguin itu di depan. Hahahaaha. Mana kamu nangisnya kenceng banget.”

“Sakaaa! Yaudah whatever. Tapi di gambar yaaa?” Kali ini Hala mengunakan mata indahnya itu untuk memohon.

“Iyaa cantikk apasih yang enggak buat Hala. Hahahahaha” Saka masih cekikikan mengingat kejadian itu.

“hueeeeekk.. Dah liat depan sana dah mulai jalan. Jelek banget lagi ketawanya.” Kali ini sudah bukan mata indah yang menghiasi wajah cantik itu, melainkan bibir manyun Hala.

“Hahaha duile ngambek nih. Nanti dibeliin mie dok dok Mang Ujang dehh, level pedas.” Bujuk Saka.

Emang dasar Hala murah banget. Dia langsung mengiyakan ajakan Saka.

“Mau mau mau… Auriga ganteng deh!” Kedip Hala lagi.

“Berenti gak sama itu mata?! JIJIK tau! Ewww…”

“Hahahahaa”

Saka kembali. Baru saja sehari bersama Hala, Saka sudah seperti kembali. Separuh yang terasa hilang telah kembali. Mungkin malam ini dia akan terus berterima kasih pada Tuhan. Tuhan Maha Baik.

….

Kali ini Saka sedang berbaring di kamarnya sambil memainkan beberapa lagu kesukaannya dengan Hala. Bahkan mereka memiliki playlist bersama. Tadinya dia hanya asik berbaring saja tanpa memerdulikan permintaan-permintaan Hala.

Saka sudah sadar kalau selama ini Hala bukanlah halusinasinya melainkan Hala yang asli. Dia amat sangat sadar. Namun entah kenapa makin hari tingkah Hala semakin menyebalkan, belum lagi Saka harus mengerjakan sketch sewaktu mereka kecil di buku hitam. Mulai dari kejadian sepeda, sampai saat bermain-main dengan anak panti. Walau Saka menyelesaikan semuanya, ini amat sangat melelahkan membuat 10 lembar gambar dalam waktu 5 hari ini. Saka sudah sangat dendam pada perempuan yang saat ini sedang menikmati gambar terakhir karya Saka.

“Seneng banget tuh?” Sindir Saka. Namun yang disindir sepertinya tidak sadar.

“Seneng banget. Makasih Auriga” Sahut Hala tanpa melepaskan tatapannya pada buku gambar itu.

Mendengar jawaban Hala, Saka yang sedang berbaring menatap Hala sedang tersenyum. Ah... senyum kecewa kah kali ini? Tidak ini bukan senyum bahagia seperti biasanya. Bukan lagi senyum bahagia Halanya Auriga.

Saka menghampiri Hala ikut duduk disampingnya. Lalu membuka halaman pertama buku gambar itu.

“Ini pertama kali aku sadar kalau aku punya orang lain selain mama sama papa aku.”

Saka mengingat bagaimana Hala menggenggam koas bawahnya dengan erat. Mukanya sudah merah menahan tangis.

“Aku minta kamu buat gambar pertama kali kita ketemu. Malah gambar tangan anak kecil yang megang kaos.”

“Yaa itu kamu, pas kamu diisengin sama Bang Can, tapi kamu gak mau nangis. Mau aku tambahin sama muka kamu, nanti gambar aku jelek.”

“Saka! Ada yang lebih cakep pas aku ngajak kamu main. Kamu bisa gambar muka aku senyum.”

“Aku gak inget tuh.”

Hala cemberut. Tapi dia senang, gambar itu benar-benar menggambarkan dia dan Saka. Untuk pertama kalinya dia mengadu kepada Saka karena Bang Candra, Kakak kandung Hala. Saka juga yang memarahi Candra.

“Udah dong Bang Candra! Hala jangan diisengin terus!” Saka kecil membentak Candra tanpa takut dengan kedua tangannya mengepal ikut merasakan kesal juga.

“Kamu jagoan ku” Ucap Hala tiba-tiba.

“Apaan dah kumat.”

Saka tersenyum lalu membuka halaman selanjutnya secara acak.

Kertas itu dipenuhi warna biru dan jingga. Laut. Hala sangat menyukai laut. Bukan Hala saja meliankan mereka berdua. Saka dan Hala amat menyukai laut.

“kok warnanya bukan laut pas malem sih Sak?” Sebenarnya Hala ingin menanyakannya sejak Saka menumpahkan cat kuning dan orange pada buku itu. Satu satunya lembar dengan warna.

“Kamu kan kasi temanya hal yang paling Saka suka”

“Aku pikir yang paling kamu suka itu langit malam?”

“Itu mah kamu... makanya buat gambar hal yang Hala suka itu langit malam kan?”

Hala meminta Saka membuka lembar tersebut yang penuh dengan tinta hitam serta bayangan bulan purnama besar pada lautnya.

“Iyaa aku pikir ini gambar hal yang Saka suka, makanya aku gak ketemu gambar hal yang aku suka.”

Saka kembali membuka gambar laut dengan penuh warna.

“Ini yang aku suka. Gak ada bintangnya. Fokus aku cuman ke langit dengan awan terkadang bulan dan matahari, laut.”

“Laut tempat favorit kitaaaa!” Muka Hala girang mendengar laut.

Laut merupakan liburan pertama mereka sekeluarga. Walaupun sepanjang jalan mereka bertengkar tentang hal-hal yang tidak penting tetapi begitu sampai tujuan mereka langsung akur dan berencana mengusili Candra. Candra yang saat itu asik membuat istana pasirnya harus menerima nasib istana itu hancur disiram air laut oleh anak-anak kecil itu.

Tentu saja mereka bersengkokol dengan Saka yang membuat perhatian Candra hanya fokus padanya. Sementara Hala mengambil air laut dengan ember pasir. Lalu byuurrr.... hancurlah istana kebanggan Candra.

“Tapi liburan kali ini dipegunungan yaa...” Hala kembali senyum sendu. Lagi-lagi senyum itu. Entah apa yang sedang dirasakan oleh Hala saat ini.

Hala kembali kelembar terakhir. Sementara Saka memutuskan untuk kembali merebahkan dirinya ke atas kasur. Saka mulai memejamkan matanya tapi tidak sama sekali tertidur. Lembar terakhir merupakan gambar bunga tulip tanpa warna.

Saat gambar itu selesai dibuat Hala langsung bertanya

“Kenapa gak diwarnain?”

“Kamu warnain sendiri tapi jangan kasi tau aku.”

Mungkin saat ini Hala sedang berpikir warna yang tepat untuk bunga itu, karena buat Saka sendiri dia tidak akan memilih sebuah warna karena kertas tersebut sudah mewakili sebuah warna.

“Sakkk?” Panggil Hala tetapi tidak mendapatkan jawaban.

“Saka aku tau yaa kamu pura-pura tidur.” Hala menghampiri satu-satunya manusia di kamar ini.

“Iya.” jawab Saka namun membalik badannya jadi memunggungi Hala.

“Sak?” Tanya Hala hati-hati sekali lagi.

“Yahh... Sak capek banget yaaa? Yaudah nanti aku mintanya mie dok dok Mang Ujang aja deh”

“Apasihhh? Aku ngantuk.” Jawab Saka tanpa membalikan badannya.

Sepertinya Saka memang membutuhkan waktu sendiri. Hala memutuskan untuk meninggalkannya.

Saka tidak mengantuk hanya lelah. Rencana liburan sekeluarga membuatnya kembali diam dan sibuk dengan pikirannya. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Dia membalikkan badannya dan memandang langit-langit kamarnya. Besok Hala berumur 21 tahun.

Tahun ini mereka sepakat akan pergi ke daerah pegunungan. Saat makan-makan ulang tahun Saka mereka sekeluarga membicarakannya. Namun manusia hanya bisa merencanakan Tuhan memiliki rencana lain untuk Hala. Masih terpaku dengan pikirannya yang dipenuhi Hala, pintu kamarnya terbuka.

“Sak... mama ganggu kamu tidur?” Mama Saka berada di ujung pintu menunggu jawaban anaknya. Dia melihat buku gambar Saka yang masih terbuka dan melihat gambar itu sekilas, Saka dan Hala kecil.

“Masuk aja Ma.. Saka cuman rebahan aja tadi.” Saka bangkit dari tempat tidurnya merubah posisi menjadi duduk bersila. Saka tahu mamanya sempat melihat buku sketch yang terbuka.

“Saka kangen ya sama Hala?” Tanya Mamanya yang sekarang juga sudah duduk di sampingnya.

“Enggak. Saka gak kangen tuh.” Acuh Saka yang juga melihat buku gambar itu.

Mendengar jawaban cepat dari anaknya, Mama Saka hanya tersenyum. Siapa lagi yang paling mengerti Saka kalau bukan yang melahirkannya.

“Besok, ulang tahun Hala... Mama sama Papa Hala tetep ngajakin kita buat ngerayain di villa yang udah direserve. Saka mau ikut?”

Cukup lama buat Saka menjawab mamanya.

“Sorenya kita bakal ke makam Hala sama-sama.” Mama Saka menambahkan, dan otomatis Saka langsung menjawab dengan anggukan.

“Yaudah mama kabarin mama Hala dulu yaa”

...

Keluarga Hala dan Saka berencana bertemu langsung di Villa. Biasanya mereka akan merayakannya dengan berdoa bersama, lalu makan-makan dan bertukar cerita. Namun kali ini berbeda, pemandangan yang didapatnya kali ini amat terasa kosong. Perempuan yang menariknya sejak dia berusia lima tahun sudah tidak ada lagi di sisinya maupun menyambutnya. Yang Saka lihat kali ini senyuman Mama Hala menyambutnya dengan hangat namun ada luka di dalamnya.

Sebuah langkah kaki memasuki ruang tamu.

“Ini kado dari Hala buat Saka.”

Suara wanita dewasa mengintrupsi Saka yang sedang menikmati pemandangan pegunungan yang indah itu. Sontak Saka menoleh dan melihat Mama Hala membawakan dia sebuah paperbag.

Saka melihat ke dalam paperbag itu, sebuah buku gambar?

“Sebelum Saka ulang tahun, Hala dua minggu begadang buat itu. Dia bilang kado Saka kali ini harus beda. Dia gak mau beli atau bikin kue kayak tahun-tahun sebelumnya.”

Saka hanya mendengarkan. Wanita dewasa di sampingnya ini juga mengalami luka yang berat. Bahkan mungkin lebih berat dari yang Saka alami. Tetapi dia berusaha ikhlas.

“Sebelum Saka jemput hari itu, Hala turun dari kamarnya bawa kado ini. Tapi dia lupa. Maaf yaa Saka, Mama juga baru bisa ngasi kamu hari ini.” Mama Hala tersenyum menatap sahabat anaknya itu.

Saka amat mengerti, beberapa minggu ini amat berat bagi keluarga mereka. Kehilangan putri bungsunya secara tiba-tiba bukan sesuatu yang mudah. Sementara kaka Hala, Candra benar-benar tidak bisa mendampingi orang tuanya. Mereka saling bergantung mengisi lubang yang hilang itu.

“Hala bilang kalau nanti dia pulang mau nyicip kue yang Mama buat. Malah tumben bilang sayang banget sama Mama. Sampe papanya iri. Hari itu dia bener-bener bahagia. Makasih yaa Saka, udah ngajakin Hala buat ikut. Mama sayang sekali sama Saka dan Hala. Semoga Saka juga gak lama-lama yaa sedihnya.”

Luka yang perlahan terisi dengan hadirnya Hala kembali terasa sakit. Dia meneteskan air matanya kembali. Kali ini untuk rasa sakit yang tidak lagi berusaha dia tutupi. Mama Hala memeluk Saka erat mereka memberi ruang untuk rasa sakit itu. Berusaha menerima jalan cerita yang ditulis oleh Tuhan tanpa lagi menyelahkan. 

....

Saka baru berani membuka kado itu setelah dia sudah cukup tenang dan Mama Hala pergi. 

Ah... Hala. Buku gambar? Saka yakin pasti ini buku gambar yang persis dengan apa yang telah dibuatnya. Tetapi ini versi Hala. Saka membuka halaman demi halaman.

Ini pertama kali Hala ketemu Auriga.

Sebuah gambar dengan anak tersenyum sopan namun terlihat bahwa dia malu. Saka mengingatnya saat pertama kali mereka pindah, Saka menyapanya dengan tangan terangkat tanpa mau mengajak Hala menjabat tangannya. Lalu tersenyum hanya untuk sebuah kesopanan. Hanya Arshaka Auriga yang diucapnya.

Lembar berikutnya gambar seekor kucing berwarna oren sedang tersenyum bersama beberapa anak kucing disampingnya.

Bubuy dan anak-anaknya

Saka ingat kucing yang mereka berdua temukan terjebak di selokan. Saat itu Hala bertugas membawa kucing tersebut naik ke atas karena Hala kalah suit dengan Saka, lalu Saka sudah sigap dengan handuk agar si anak kucing itu tidak kedinginan.

“Saka gak gentel” sungut Hala namun tetap turun ke bawah selokan itu.

Sayangnya Bubuy nama kucing itu, harus mereka titipkan dipenangkaran kucing karena kedua orang tua mereka tidak bisa mengurusnya sementara mereka berdua harus sekolah.

Hal yang Auriga suka

Sebuah gambar langit malam persis dengan gambar yang dibuat Saka namun dengan sentuhan yang berbeda. Terdapat siluet mereka berdua sedang duduk dipantai.

Hal yang Hala suka

Sebuah gambar anak laki-laki tersenyum tulus.

Senyum Saka

“Kamu punya dua berarti. Aku gak nyangka Mama bakal bawain kamu. Aku pikir bukunya ilang. Makanya aku minta kamu buat ngegambar, tapi kayaknya buat gambar hal yang Auriga suka Hala salah ya?”

Entah darimana Hala muncul, mata Saka tidak menoleh ke arahnya. Saka bahkan tidak menjawab pertanyaan Hala. Dia masih sibuk memandangi hadiahnya. Lembar terkahir gambar Hala sepasang anak kecil berdoa di depan kue ulang tahun. Saka tersenyum. Bagaimana pada sebuah gambar bisa ada makna harapan juga perpisahan di dalamnya? 

“Selamat ulang tahun Arshaka Auriga. Selamat hidup untuk 21 tahun lebih sebulannya. Semoga sehat selalu, diberikan kemudahan dalam menjalaninya ya. Kali ini aku udah gak bisa bareng-bareng lagi buat ingetin kamu. Tapi di waktu yang aku bisa aku mendoakan kamu. Selalu.”

Saka menengok ke arahnya. Hala tersenyum, cantik. Lagi-lagi kedua matanya menghilang dengan senyumnya.

“Yah Auriga nangis. Yaudah Hala temenin sampe Auriga berhenti ya.”

“Kalau gitu Auriga gak mau berenti nangisnya nanti Hala pergi.”

“Hala gak suka Auriga ngomong gitu.” Ucap Hala lemah.

Sadar kata-katanya membuat Hala juga ikut sedih. Semua tidak bisa begini terus kan?

“Jangan pergi tiba-tiba lagi dong Hala?”

Hala kembali tersenyum.

“Kalau gitu Hala boleh pergi kalau pamit?”

Sudah waktunya. Saka terdiam, dia berusaha menghentikan air matanya. Dia tahu kalau selama ini, dia selalu menyalahkan dirinya membuat semua orang sedih. Dia berusaha baik sementara menekan bahwa semua yang dialami adalah kesalahannya.

“Tapi malam gak asik kalau bintang sendiri di langit.”

Hala tersenyum sendu.

“Kan masih ada Bang Candra yang jadi bulannya Auriga.” Hala menjawab asal. Laki-laki itu tersenyum, tangisnya perlahan hilang.

“Kalau gitu iya boleh... Emang Hala mau pergi kapan?” Kata-kata yang diucapkan oleh Saka amat lembut tanpa ada penahanan. Mungkin kali ini dia bisa melepasnya, dia bisa bertahan sendiri. Tapi Hala sudah memberikannya dua buah bekal kan untuk bertahan? Dua buku gambar. 

“Makasih yaa Arshaka Auriga. Udah mau jadi sahabat jagain Hala. Selalu ada buat Hala. Mau jadi bintang yang selalu nemenin bulan biar langitnya cerah. Hala sayang sekali sama Auriga.”

“Auriga juga sayang sekali sama Hala. Selamat 21 tahun Hala Suraiya. Bulan yang amat cantik. Till we meet again.”

Perlahan senyum itu hilang.

...

And now, when I get reminded of you
Instead of being hurt, I’ll try to smile
As I think of those part days as the days we spent together

- Above the Clouds by DAY6


You can visit my Instagram @artandhate ada video akhir buat Saka dan Hala :)





0 comments: