Sebuah Genggaman

15:48 LuqyLugy 0 Comments


[Trigger warning!] 
Mention of blood

Apa rasanya ketika sedang berjalan bersama-sama lalu orang yang ada dalam genggaman mu terjatuh? Saat itu, ada tiga pilihan sekaligus pertanyaan yang terpikirkan oleh ku.

Haruskah aku menunggunya untuk bangkit lalu berjalan bersama kembali? Atau yang mudah dengan meninggalkannya melanjutkan perjalanan sendiri? Namun bukankah kebanyakan orang akan membantu dengan merunduk, melihat adakah luka yang serius, kemudian sama-sama melanjutkan perjalanan kembali?

Aku memilih opsi terakhir. Tetapi Tuhan memiliki lebih banyak opsi. 

Saat aku merunduk melihat lukanya, dia hanya terdiam menatap ku. Mungkin dia ragu mengijinkan ku membantunya merawat luka itu dengan keterbatasan ku. Tatapan itu ku anggap sebagai tatapan meminta bantuan. 

Aku salah...
 
Ketika aku mengulurkan tangan ku dia menepis uluran tangan itu. Siapa sangka dia menerima uluran tangan lain? Tanpa sadar aku terduduk di mana tempat dia terjatuh dan akhirnya tangan yang selama ini aku genggam mengendur lalu menghilang terbawa oleh genggaman lainnya.

Terdiam di tempat itu sendirian, lama dan semua gelap. Aku tersesat.

….

You taught me how to let somebody in
And how to let go of someone you love
To fall apart and then get up again
- Are You Happy?


Apa kabar? Tiba-tiba aku kepikiran kamu?
Are you okay?

Aku memperlihatkan isi pesan seseorang yang tidak pernah bisa ku sebutkan lagi namanya pada sahabat ku.

“Gak usah dibales.” Tegasnya.

Aku menghembuskan nafas kasar. Lelah, bukan karena aku masih menginginkan kembali hubungan itu. Namun rasa khawatir akan keadaannya tidak pernah hilang. Empati itu tidak pernah bisa aku lepaskan entah sejak kapan.

Aku hendak mengambil benda kecil yang berisi pesan tadi. Raya menggapai benda kecil itu,

I told you, just ignore him.

Aku urung melihatnya lagi. Takut. Jika Raya sudah marah, no one can beat her. Dan yaaa dia amat membenci laki-laki itu.

Pernah sahabat ku yang lain juga mengatakan hal yang hingga saat ini menjadi sebuah pegangan untuk ku bertahan,

“Kalau kamu masih menganggap untuk bersama kamu gak bakal putusin dia. The reason why people be apart because they can handle each other. Kenapa putus kalau masih berharap buat bersama?”

Aku terdiam kembali memikirkan kata-kata itu. Merenung. Walaupun tidak langsung mengatakan pada mereka bahwa saat itu aku jatuh terjebak. Mereka melihat aku berbeda. Mereka tahu kalau aku sakit. Amat sakit.

“Yem.. nih hp lo gue balikin. Si sok bijak telfon.” Kata Raya menyadarkan aku dari lamunan itu.

Aku tersenyum ketika Raya mengatakan itu, mengambil hp ku untuk menjawab panggilan sahabat ku yang ada di belahan bumi lainnya.

“Yaaa Jun…”

“Kenapa?” Tanya Juna langsung.

Aku menghela nafas panjang menatap Raya. Gadis mungil dan sedikit berisi itu balik memperhatikan ku. Pasti keduanya bertukar pesan mengabarkan kalau lelaki itu kembali menghubungi ku.

Nothing.” Aku menjawab pertanyaannya sambil menatap Raya untuk tidak lagi mengabari Juna perihal laki-laki itu.

Juna menyeramkan. Mungkin dia terlihat pendiam dan tidak peduli tetapi jika dia sudah sangat care dengan seseorang, dia akan berusaha melindungi orang itu. Aku tidak pernah bisa menebak Juna. Namun dari sini aku tahu kalau Juna sudah kehilangan respect dengan seseorang dia bisa amat sangat menyeramkan.

“Raya bilang-“

“Gak. Gak aku bales. Dan kalau dia telfon. I’ll call you.” Aku memotongnya cepat.

“Telfon yaa Yem. Ntar malem aku telfon lagi.”

“Yaaa.” Kemudian telfon di tutup. Menatap kembali layar hp yang memunculkan pesan lelaki itu.

Yemima

Aku melihat kembali ke arah Raya, lelah.

Block aja.” Katanya.

Raya tahu, sudah pasti pesan ini dikirimkan sebelum Juna menelfon ku.

Aku diam. Raya tahu bahwa aku tidak pernah bisa mem-block nomer lelaki ini, tetapi juga tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Akhirnya pada saat Raya tidak memandangi ku, aku memutuskan untuk membalasnya.

….

And I know I thought that pain’s part of love
But I think I broke you, though I didn’t mean to
- Are You Happy?


Yemima seorang gadis bertubuh seperti kebanyakan perempuan lainnya dengan celana jeans dan baju kebesarannya berwarna putih sedang memandangi langit. Hari itu merupakan hari yang cukup cerah di kota pendidikan ini, namun hari yang cerah itu tidak bisa membuat hatinya menjadi lebih baik.

Bruk!

Sebuah buku beradu dengan kepalanya. Tidak menyakitkan akan tetapi cukup membuat gadis ber makeup tipis itu terkejut. Dia tahu siapa pelakunya. Namun dia memilih untuk mengabaikan dan kembali menikmati langit.

“Kangen Langit ya?”

Yemima hanya bergumam sebagai jawaban dari pertanyaan itu.

“Yem, putusin.”

Satu kata itu berhasil mengambil perhatian Yemima sepenuhnya ke arah Raya.

Dia menghela nafasnya berat, “Bentar yaaa? Gue coba dulu. Hubungan yang ini, Gue mau coba buat berjuang.”

“Gue tau lo itu salah satu orang yang paling keras kepala yang pernah gue kenal. Dan gue tau gimana lo sama pacar-pacar lo yang dulu, tapi ini bukan Yemima. Sama dia, lo beda. Lo bahkan kayak gak kenal diri lo sendiri. You’re slowly... dying.

Terdengar nada khawatir dari Raya melihat sahabatnya.

“Semalem gue pergi sama temen-temen magang gue. Balik agak malem soalnya emang ada kerjaan. Dan lo sendiri tau kalau temen-temen magang gue gak akan pernah aneh-aneh. Langit dari jam 11 udah telfon terus maksa gue balik, sementara kondisinya gak bisa begitu.”

“Ada Gilang? Harusnya aman.” Raya berkata sambil ikut berpikir.

Gilang salah satu orang yang Raya percaya bisa melindungi sahabatnya tanpa terlibat yang namanya kisah kasih karena Raya tahu keduanya sudah memiliki hubungan romantik. Walaupun Yemima saat ini sedang terlibat cerita yang rumit. Tidak hanya dia yang lelah beberapa orang juga sudah mulai lelah dengan keadaanya.

“Bahkan ada Rista. Gue heran. Gue susah dibilangin ya? Tapi gue ngerasa nyokap sama bokap juga biasa aja. Dan gue beneran sibuk Ray. Gue gak aneh-aneh.”

Raya mengangguk mengerti. Keadaanya memang amat sulit dimengerti dari sisi Langit. Yemima juga sudah berusaha mengikuti kehidupan yang diinginkan Langit untuk bisa membagi waktu istirahat, kuliah, dan organisasi. Tetapi memang pada dasarnya Yemima anak yang aktif membuat dia akhirnya mengorbankan waktu luangnya.

“Dia bawel banget? Lo gak bilang bareng si Rista kali.” Tanya Raya

Yemima melotot, “Gue bahkan bilang ‘Iyaa Yang ntar balik langsung istirahat. Aku bareng kacang rosta kok.’ Gue bahkan bilang Rista itu kacang rosta biar gue kagak kena amuk. Tetep aja tuh.”

Raya tertawa mendengarnya, terlebih cara perempuan yang rambutnya diikat ini frustasi sekali menceritakan percakapan dia dan sang kekasih. Dia juga menunjukan room chat dengan kekasihnya yang terlihat sangat kesal.

Gosh gue baru tidur dua jam hari ini! Terus sekarang gue harus kena amuk. Gue mau pacaran sayang-sayangan deh Ray.”

Melihat Yemima sebegitu sedihnya membuat Raya menghentikan tawanya berdeham sekali untuk menenangkan dirinya.

“Samperin. Kangen kali.” Kata Raya sarkas.

Tidak mungkin Yemima menghampiri Langit, karena saat ini Yemima sedang ada musyawarah besar di salah satu oraganisasinya.

“Iya. weekend ini gue samperin.”

“Yemima! Gue becanda.”

Yemima menatap sahabatnya bingung, “Gue udah beli tiket.”

“Lo ada Mubes.” Raya mengingatkan sahabatnya kalau-kalau dia lupa akan tanggung jawabnya.

“Sabtu Minggu gue bolos, Senin dari stasiun gue langsung ke tempet mubes. Dah beres sih bagian gue makanya gue berani bolos.”

“Yem… lo gak pernah sebucin ini sama cowok? Please Yemima ini lo mau mati?”

Yemima terdiam lalu tersenyum getir.

….

So you know what you want isn’t with me
Would you go back and tell yourself to leave it
Knowing how it goes?
Or are you happy that we happened?
- Are You Happy?


Tidak banyak yang ada di ingatan ku saat ini tentang pertemuan terakhir kita.

Aku bahkan perlahan menghapusnya. Apakah ini yang dinamakan terlalu sakit sehingga semua tentang mu perlahan hilang?

Tetapi jika kamu mengingatnya seluruh rasa sakit dan kekakuan itu. Apakah kamu juga bisa melihat tatapan ku? Apakah aku terlihat kaku juga saat bertemu dengan mu? Apakah aku terlihat tidak berjuang ingin bersama mu? Apa salahku Langit sampai kamu tega menghukum ku?

.

.

.

Pagi itu aku menunggu mu menjemput ku di stasiun karena kamu pada akhirnya memaafkan aku yang merelakan waktu ku untuk bertemu. Namun cukup lama aku menunggu. Saat kamu menghampiri ku tidak terlihat tatapan senang dalam mata gelap itu.

Aku hanya mampu tersenyum seadanya berusaha memaklumi hal itu. Beberapa hari juga aku tidak bisa tertidur nyenyak dan kamu cukup tahu itu. Tetapi aku merasa aku tidak bisa egois dengan menuntut perhatian mu. Kamu saat ini adalah yang utama. Lalu kali ini aku sadar bahwa pada dasarnya dunia kamu berputar dengan kamu, dan aku dengan dunia ku sendiri.

Sehari semalam kita habiskan dengan bertukar cerita, aku tidak terlalu ingat. Namun aku tahu ternyata dengan bertemu membuat mu dan kita kembali menjadi baik, membuat aku kembali percaya bahwa kamu bisa untuk aku temani berjalan bersama. Kamu mampu meraih genggaman tangan ku kembali.

Senyum mu yang sayu baru ku sadari kalau kali ini kamu benar-benar terlihat sakit. Jika kamu tahu pada akhirnya aku dan kamu tidak akan pernah berhasil. Akankah kamu kembali ke masa itu dan mengatakan pada diri mu sendiri untuk pergi? Yaa… pada akhirnya kamu memilih untuk pergi.

Aku tidak bisa terlalu lama menghampiri mu, kamu sendiri tahu kalau aku juga masih seorang anak yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan berusaha untuk tidak mengecewakan kedua orang tua ku. Kita berdua sadar bahwa kita masih belum sepenuhnya bersama untuk menguatkan, ada banyak sekali tanggung jawab yang harus kita selesaikan.

“Bisa gak di sini aja? Magang sama skripsinya di sini aja?” Kata-kata Langit membuat ku ingin bertahan. 

Aku mau menemaninya hanya untuk melihat dia berhasil dan bisa kembali bangkit. Senyum pada wajahku adalah rasa syukur ku bahwa ada seseorang yang benar-benar membutuhkan ku, tidak membuang ku. Aku benar-benar dibutuhkan.

“Nanti ya.. aku janji aku bakal di sini tapi aku selesaiin di sana dulu.” Ucap ku menenangkan mu di bangku coffee shop dalam stasiun itu.

Suasana hari itu cukup kelabu, suara rintik hujan, banyak jejak yang basah karena ternyata air deras akhirnya berhasil turun di kota itu. Banyak orang berlalu lalang seolah berebut pergi ke tempat tujuan.

Aku terlalu menikmati orang-orang yang berpisah dan juga bertemu kembali. Aku tidak sadar bahwa aku sendiri sedang menyiapkan suatu perpisahan yang lebih besar.

Ada orang berkata ketika pergi meninggalkan seseorang saat perpisahan jangan sekali-kali berbalik. Karena kita tidak pernah tahu kapan kita kembali. Bahkan kita mungkin tidak bisa kembali.

Langit, maafkan aku. Pada hari yang kelabu itu aku memutuskan untuk berbalik. Melihat mu menatap ku sendu karena sebuah perpisahan. Jika aku memutuskan untuk tidak berbalik mungkinkah kita masih ada di sebuah cerita yang sama?

Aku tidak pernah tahu bahwa hari itu menjadi lembar terakhir kita bersama.

….

And I know I thought that pain’s part of love
- Are You Happy?


Baru dua hari sejak kepulangan Yemima menghampiri Langit. Langit kembali menunjukan sikapnya kembali. Yemima tahu kalau Langit sedang tidak baik, semua tahu itu. Titik ini adalah keadaan di mana Yemima lelah. Amat sangat lelah. Dia merasa bahwa kali ini dia berjalan dengan cara menarik, maksa orang yang sedang berjalan bersamanya untuk berjalan. Ini bukan lagi bersama-sama berada di jalan yang sama.

Seminggu setelahnya mereka kembali pada komunikasi yang tidak baik.

“Gimana?” Tanya Raya.

Saat ini mereka sedang makan sate ayam di dekat kampus. Raya terpaksa menarik Yemima dari tempat tidurnya karena entah kapan terakhir sahabatnya itu makan selayaknya manusia.

“Berantem lagi.”

Yemima bahkan memakan sate itu tidak minat. Karena takut dengan Raya dia memakan sate itu sampai habis. Mungkin perutnya juga sadar bahwa dia membutuhkan nutrisi.

“Kali ini gara-gara apa?” Raya menatap Yemima yang sedang mengaduk-ngaduk tusuk sate di bumbu kecap.

“Gue gak ngabarin dia. Gue di kosan tapi bener-bener lagi butuh waktu sendiri. Gue bener-bener capek. Gue matiin hp taruh di lemari.”

“Terus?”

“Yaudah pas gue nyalain hp lagi, bilang ke dia hp gue ngehang tiba-tiba. Well, mungkin dia juga gak percaya. Tapi gue gak sepenuhnya bohong. Gue bilang juga lagi butuh waktu sendiri.”

“Dia ngilang?” Tebak Raya sambil memakan gigitan sate terakhirnya.

Yemima menarik nafasnya dalam dan lebih memilih tidak menjawabnya. Karena memang itu sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Raya paham betul pertanyaan itu memiliki jawaban apa. Dia hanya ingin menegaskan pada Yemima sebuah kenyataan yang sedari dulu ditolak untuk dilihat.

Yemima membuka hpnya melihat adakah kabar dari Langit. Nihil. Dia melihat beberapa status terbaru dari teman-temannya lalu dia melihat status Langit berada di bandara.

Perempuan itu tersenyum getir. Dia tahu bahwa sebenarnya tidak perlu khawatir akan kekasihnya tersebut.

“Kenapa?” Tanya Raya melihat senyum yang berbeda.

Yemima memberikan hpnya kepada Raya dan memperlihatkan kembali status Langit.

“Pulang? Dan gak ngabarin lo? Yem? Lo yakin berjuang di hubungan ini?”

Bahkan saat ini dia tidak sanggup lagi menjawab apapun.

Keesokan harinya Yemima sengaja tidak menghubungi Langit terlebih dahulu. Karena dia tidak ingin mengganggu Langit yang saat ini sedang berada di rumah.

Namun saat Yemima sedang pergi dengan Raya untuk mengunjungi teman-teman mereka yang lain, Langit memberikan sebuah pesan.

Aku di rumah.

Ya aku tau, aku liat status kamu kemarin.

Aku ke dokter.

Bagus dong. Dengerin apa kata dokternya yaa.

Kata dokter kamu salah satu trigger aku.

Yemima diam membaca pesan itu. Selama ini apapun yang dilakukan oleh sosok perempuan ini akan terus menjadi hal yang berbahaya, walaupun itu tidak membahayakan dirinya. Tetapi seseorang menggantungkan diri padanya. Pergerakan Yemima yang dinilai salah akan berakibat buruk bagi seseorang yang dikasihinya.

Ingin rasanya Yemima saat itu menangis sejadi-jadinya. Namun percuma tidak pernah ada air mata yang keluar. Bahkan air mata saja menolak untuk keluar karena rasa sakit menguasai dirinya. Yemima membalas pesan itu,

Jadi maunya gimana?

Aku juga gak tau

Abu-abu. Hubungan itu menjadi abu-abu sampai akhirnya menjadi gelap dan tidak ada yang mampu melihatnya.

….

But I think you broke me, though you didn’t mean to
- Are You Happy?


Tidak ada sebulan kisah itu berakhir, aku tahu kalau kamu sudah bersama orang lain.

Bahkan aku masih berpikir untuk bisa menggenggam tangan itu kembali. Dengan aku berpikir untuk memperbaiki kerusakan yang aku alami aku bisa kembali menggenggam tangan itu untuk membantunya kembali berdiri. Baru sejenak aku melepaskan genggaman itu kamu sudah menemukan kembali sebuah genggaman yang baru.

Aku jatuh, terjembab dan sulit untuk bangun.

Aku melihat Raya menangis. Raya menangis Langit. Apakah aku kembali membuat salah? Aku ingin sekali ikut menangis bersama Raya tetapi semua terasa berat, aku tersenyum. Ingin aku mengatai dirinya yang saat ini terlihat amat jelek karena tangisnya.

Tetapi tangannya sudah dibasahi dengan darah merah segar. Dia menatap ku histeris. Memanggil manggil namaku. Aku tidak tega untuk meledeknya. Aku memilih tersenyum, menyenangkan. Ada sebuah kelegaan. Sepertinya aku melakukan hal bodoh yaa Langit.

Lalu semua sepenuhnya menjadi gelap.

….

“Mau eskrim?” Tanya Juna kepada seorang wanita yang sekarang sibuk menatap pemandangan di hadapannya. 

Sebuah pemandangan jalan raya yang begitu sibuk dengan gedung-gedung pencakar langit di samping kiri kananya.

“Mau rasa vanilla yaa?” Ucapnya tersenyum manis.

Di balas sebuah anggukan oleh Juna.

Hp perempuan itu berbunyi, menampilkan nama Langit. Juna mengambil alih hp itu dan langsung ditekan simbol berwarna merah.

Juna mengelus lembut bekas luka dipergelangan tangan Yemima,

“Yem… dengerin aku yaa. Kamu boleh bersimpati dan empati kepada siapapun, tapi bukan orang itu. Tolong yaa. Kita semua lebih butuh kamu di sini. Bukan dia.”

Yemima tersenyum menggenggam tangan Juna. Dia tahu kalau kali ini dia akan membuat sebuah keputusan yang tidak lagi bodoh.

….

Jakarta, 2020

Langit, maafkan aku.

Aku melihat cerita mu mengenai kita. Dalam cerita itu aku tahu bahwa selama ini dunia berpusat pada dirimu bukan kita, aku dan kamu. Melainkan hanya kamu. Aku sebagai orang baik yang bersedia menyediakan waktunya.

Aku hanya pemegang peran figuran yang menumpang lewat pada cerita mu.

Langit kali ini aku ingin membuat cerita ku sendiri. Aku berusaha keras untuk tidak membuat kamu berada di dalamnya. Tapi kamu terus berusaha masuk dalam cerita ku.

Aku berserah pada Maha Pembuat cerita ku. Namun jika aku boleh memilih, alur cerita yang aku buat kali ini dengan pemain-pemain yang berhasil membantu ku bangun dari cerita kelam itu. Aku berusaha mendengarkan mereka untuk menjadikan mu sebuah bayangan yang bahkan kadang tidak ku sadari kehadirannya.

Langit, terima kasih.

Sampai jumpa dengan keadaan yang sama baik.

0 comments: