TidakNyata.
Dunia berlalu begitu saja. Hari demi hari berganti bulan, begitu juga bulan berganti tahun. Aku masih merindukannya di sini.
Suara ombak seolah mengantarkan kerinduan yang membucah. Laut mengirimkan kata-kata yang tak mampu ku ucapkan saat bersamanya. Menyalahkan dunia sepertinya menjadi opsi paling baik kala itu. Namun kali ini untuk memaafkan diri sendiri saja rasanya begitu amat sulit.
Deburan ombak yang menyisir pantai dengan cahaya redup lampu-lampu di seberang tempat ku duduk. Tuhan sangat baik mempertemukan aku dan dia di sini, juga mengambilnya di tempat yang sama. Entah hubungan apa yang ku miliki dengan kota ini.
"Bisa ga? kalau di sini ga usah ngelamun?"
"Emang tempatnya buat ngelamun kok." Jawab ku santai sambil menyesap kopi hangat.
"Kopi... terus kopi. Ga mempan kayaknya aku marahin kayak apa juga, masih juga ngopi."
"Kamu udah ga bisa lagi marah-marah ke aku. Entah soal kopi, tidur, atau apapun."
Diam... sunyi. Aku tidak ada keinginan untuk menengok ke arah si pemerotes. Dunia ku jelas tidak baik-baik saja.
"Bukan salah kamu. Apa yang terjadi, sama sekali bukan salah kamu." Dia kembali bersuara mengingatku atas hari itu.
Bagaimana hubungan kami berakhir saling menyalahi tanpa pernah ada kata maaf terucap. Hingga saat ini. Tentu semua salah ku, jika malam itu aku bisa menahan diri mungkin saat ini aku tidak sedang berada di pinggir pantai menatap berisiknya dunia seberang.
"Berkali-kali, bukan salah kamu. Aku selalu bilang berhanti menyalahkan diri sendiri."
Air mata tidak sengaja aku biarkan lolos. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak pernah lagi menangis. Terlebih menangisi kejadian itu.
"Tuhkan... malah nangis. Udah yaa, bukan salah kamu."
Aku beranjak dari tempat itu, membereskan kopi yang tinggal separuh. Aku melihat celana jeans sosok yang sedari tadi bersuara di sampingku. Kali ini sudah bukan suaranya saja. Aku mulai membayangkannya hadir benar-benar ada di sampingku.
Tanganku bergetar...
"Jangan pernah menyalahkan diri sendiri lagi. Aku minta maaf."
Aku tersenyum sinis. Minta maaf katanya? berkali-kali menuduhku dan tidak pernah berjuang atas kita. Kali ini maaf yang diucapnya? Ku tatap sosok tidak nyata itu...
Baju polo putih tinggi dengan celana jeans biru gelap persis seperti terakhir kali kami bertemu. Senyumannya begitu menyedihkan. Meratapi diriku yang semakin hari tidak jelas. Sama sekali tidak bisa bangkit. Banyak uluran tangan mencoba membantu ku, alih-alih menerima semua uluran tangan itu. Aku secara sadar menghentaknya. Aku bahkan tidak mau menlong diriku sendiri.
"Kenapa aku harus memaafkan kamu? dan kenapa aku juga harus memaafkan diri aku sendiri? Kamu udah ga ada lagi di samping ku. Kamu... meninggalkan kita, disaat aku benar-benar membutuhkan kamu." Suara ku bergetar hebat menyampaikan itu semua.
Dia tetap saja berdiri di tempat itu. Senyum yang menyebalkan.
Kalau aku bisa memilih aku lebih memilih melihatnya kali ini mendebatku, memarahiku, mengomel apapun untuk ku, asalakan aku masih bisa merasakan dia benar-benar di sampingku.
"Kenapa juga aku harus menyalahkan diri aku sendiri? Kenapa?"
Aku lebih memilih kamu marah semarahnya, kemudian kembali mencari ku.
Aku lebih memilih kamu diam lalu meminta ku untuk kembali.
Aku lebih memilih kamu mengomeli aku soal apapun lalu berada di sampingku.
Akan ku lakukan apapun hanya untuk mendengar kamu kembali mengomeli hidupku.
Bahkan dengan seberantakan ini aku baru bisa melihat kamu.
"Aku sudah kehilangan kamu. Mau diusahakan seperti apa lagi agar kamu kembali. Aku tidak akan pernah melihat kamu lagi. Kamu... secara paksa pergi. Benar-benar pergi, tidak pernah kembali."
"Kamu pergi dari aku, selamanya..."
Bahkan dia yang saat ini dihadapanku bukan dia yang sebenarnya. Aku menangis... apakah aku sangat merindukannya? Hingga yang kali ini bukan lagi suaranya yang ku dengar melainkan wujudnya.
"Maafin aku..." Ucap lelaki itu parau.
"Bagaimana bisa aku memaafkan kamu? Bahkan terakhir kali kita bertemu kala itu, kamu secara jelas tidak lagi berjuang untuk kita. Bagaimana bisa aku masih di sini meratapi, mengasihani aku, terjebak dalam rasa duka ku sendirian? Dan yang mampu ku dengar kali ini adalah kamu.... meminta maaf."
Hari itu, dimana akhirnya kami kembali bertengkar hebat. Aku terus menerus meminta hubungan ini berakhir. Aku sangat tahu kalau kami berdua lelah. Terlebih dia. Dia sangat lelah dengan semuanya dan harus menghadapi aku yang sama sekali tidak terkontrol.
"Aku berhenti," Ucapnya dingin, "Aku tidak akan lagi memperjuangkan kita untuk saat ini."
"Baik. Kalau seperti itu. Buat apa kembali sama-sama? Pergilah."
Kata pergilah menjadi benar-benar nyata ketika aku mendapati sebuah pesan kalau dia... benar-benar meninggalkan ku malam itu. Benar-benar pergi untuk selamanya. Tanpa sebuah maaf, tanpa sebuah kalimat... "aku mencintai mu."
Kalimat yang tidak pernah lagi aku dengar dan aku sangat amat merindukan kalimat itu. Sangat merindukan dekapan hangat dan bisikan cintanya. Tuhan, aku mencintainya.
Aku menatap sosok itu, "Aku mencintai mu."
Dan dia menghilang secara perlahan dengan airmata yang juga mengalir.
Aku tidak akan pernah lagi bisa mengatakan, "Aku di sini... aku selalu sama-sama kamu,"
Tidak ada lagi sosok yang ku banggakan, "Itu dia laki-laki hebatku. Aku selalu bangga dengannya."
Aku tidak lagi bisa merasa menjadi perempuan yang paling beruntung di dunia ini. Karena kamu sudah tidak ada lagi mencintaiku dengan sangat.
Deburan ombak dan angin kencang menyergap ku malam itu. Kali ini aku biarkan isak tangisku mengantar kepergiannya.
Dengan lembut suara bisikan terakhir yang ku dengar,
"Aku mencintaimu, sebagaimana aku membencimu. Aku selalu mencintaimu."
-fin
0 comments: