Tugasnya Rama
Mau temenin ke kondangannya Mas Damar gak?
Kapan?
Akhir bulan ini sih katanya
“Gimana? Gimana?” Shinta, calon istri Damar, sudah dianggap seperti kakak kandung oleh Lia.
“Liat nanti katanya” Lia menjawab sambil cengengesan dari sorot matanya sedikit terlihat kesedihan. Sudah biasa rasanya Rama bersikap dingin seperti ini.
“Pacaran kan?” Tanya Shinta dengan tatapan bingung. Dia heran dengan adik kecilnya ini yang masih terus mau mempertahankan hubungannya dengan Rama. Rama salah satu residen yang sama dengan Shinta dan Damar mengambil spesialisnya.
“Yaaa.. gimana dong Mba? Emang cetakannya begitu”
Lia sudah hapal dengan omelan Mba-nya yang satu ini. Dia dan Rama memang terlihat bukan seperti pasangan. Tidak sampai seperti musuh juga, hanya saja sikap Rama yang kelewat dingin dengannya. Terkadang dia juga bingung ingin berkata apa kepada kekasihnya. Lia tahu jika Rama sibuk bahkan sangat dan super duper sibuk. Tapi akhir-akhir ini dia juga seperti diambang batas, butuh diperhatikan juga.
“Kamu yang duluan nembak Rama?”
Pertanyaan Shinta kali ini sukses membuat Lia berpikir lama. Apakah Rama benar menerimanya hanya karena rasa tidak enak saja?
...
Sehabis pertemuannya dengan Shinta, Lia banyak berpikir kembali. Sejujurnya lelah bersama Rama yang seperti ini. Namun dia juga tidak mampu menuntut lebih. Belum lama dia merebahkan diri di sofa kesayangannya muncul sebuah notifikasi dari orang yang sejak tadi dia pikirkan.
Dimana?
Apartemen.
Baru kali ini Lia membalas pesan Rama sesingkat itu kecuali jika dia memang sangat sibuk. Biasanya dia akan menjawab lebih panjang menjelaskan kalau dia baru pulang dan bercerita kegiatan sehari-harinya. Karena tahu Rama hanya bisa membaca pesannya sesekali saja.
Rasa bersalah muncul. Lia menyesalinya setelah tidak lagi mendapat notifikasi dari Rama walaupun dia sudah mengerti entah mengapa rasanya berbeda. Dia merasa kesal yang seharusnya tidak ditunjukan kepada Rama.
“Ahhhh begooo” merutuki diri sendiri dan membenamkan wajahnya pada bantalan sofa.
...
Orang yang merutuki diri sendiri terbangun karena bunyi bell apartemen. Dengan segala gerutuan yang ada, langsung kaku begitu melihat sosok yang ada di depannya.
“kamu mau pergi?” Tanya lelaki itu sambil melihat jam tanggannya
“jam segini? jam 2 pagi?” lanjutnya
“Ha?” Lia tergagap lalu menyadari bahwa sedari tadi dia belum sama sekali berganti pakaian.
Rama hanya menatap Lia bingung. Keduanya bingung.
“Apa?” Tanya Rama masih berdiri.
“Enggak deh ini keknya efek gue baru bangun” monolog Lia dan langsung menutup pintu apartemen itu kembali.
Namun bell apartemen itu kembali berbunyi. Dia buru-buru kembali membuka pintu itu dan kembali membelakkan matanya.
“Beneran kamu?” Tanya Lia pada sosok Rama yang dia anggap hanya imajinasi.
Yang ditanya hanya mengangguk sudah terlalu biasa dengan sikap random Lia. Tapi siapa yang gak kaget juga kekasih yang biasanya dingin tiba-tiba datang jam dua pagi. SEKALI LAGI JAM DUA PAGI.
“Aku mau masuk. Capek banget dari RS, mau balik lagi nanti jam 8.” Rama menjelaskan kedatangannya jam dua pagi.
“Ha?” Lagi- lagi hanya kata itu yang bisa disampaikan oleh Lia. Dia terlalu kaget dengan Rama yang ada di depannya ditambah dengan pernyataan dia tadi.
Lama-lama Rama merasa kesal dan langsung memasuki apartemen itu. Lelah.
“Kamu mau sampe kapan di depan pintu? aku beneran capek Lia.”
“Eh iya.” Lia menutup pintu itu langsung menuju dapur.
“Ngapain?” tanya Rama yang sekarang sudah duduk di sofa depan tv tempat Lia tidur tadi.
“Buatin kamu teh? atau kamu mau apa?” tanya Lia namun isi kepalanya diisi penuh oleh pertanyaan kenapa dan kok bisa.
Sejak mereka pacaran Rama bukanlah tipikal yang akan mengujungi dan merepotkan kekasihnya dengan kesibukan atau perlengkapan pribadi dia. Lia juga sadar sebagai residen di Indonesia tentu Rama memiliki waktu yang terbatas. Maka dari itu, Lia terkadang membuatkan dia makan pagi atau bekal makan siang. Kalau malam Lia akan menggojekan Rama makan malam untuk lembur.
Kebetulan apartemen Lia lebih dekat dengan RS tempat Rama bertugas saat ini. Tapi dia tidak pernah menyangka kalau Rama akan mau menginap. Karena Rama tipikal lelaki yang sungkan dan akan memilih menuju apartemennya sendiri walau membutuhkan waktu yang lebih lama.
“Aku mau mandi aja deh.” Sahutan Rama membuat Lia benar-benar menengok ke arah lelaki yang sedang merebahkan diri di atas sofa persis dirinya tadi.
“Tapi setau aku kamu gak punya baju di sini kan?” tanya Lia, namun nada yang keluar lebih seperti memastikan pada dirinya sendiri.
“Aku pinjam baju Leo aja. Adakan?”
Leo adik Lia terpaut 3 tahun. Sekarang ini sedang berada di Bandung melanjutkan studinya.
“Iya.” Lia mematikan kompor yang berisi air hangat itu, dia langsung menyiapkan handuk dan baju Leo untuk Rama.
Selama Rama berada di kamar mandi, Lia membuatkan teh hangat dan nasi goreng walau dia tidak yakin akan dimakan oleh Rama.
“Kamu masak apa?” Tanya Rama yang mengintip di balik pungung Lia. Sontak yang ditanya langsung kaget.
“Yaa Allah Ram. Kamu ngagetin. Nasi goreng kamu mau?”
“Iya” Rama kembali duduk dan menyalakan tv yang tersambung Netflix.
“Ram makannya mau di depan tv apa di meja makan?”
“Sini aja.”
Lia membawa nasi goreng itu yang terdengar hanya suara sendok dan piring yang bertemu. Canggung.
“Tumben” Akhirnya Lia membuka percakapan.
“Kamu darimana?” Tanya Rama sambil mulai menyuapkan nasi goreng itu tanpa ekspresi yang menyatakan makanan itu enak atau tidak. Seperti biasa.
“Ketiduran tadi abis ketemu Mba Shinta.” Jawab Lia apa adanya dan dia juga tersadar belum mandi, buru2 dia menghabiskan nasi goreng itu.
“Kenapa?”
“Belum mandi. Mau cepet-cepet mandi.”
“Nanti aja. Makan dulu pelan-pelan aja”
“Jadi apa yang membawa bapak dokter kemari?”
Rama tersenyum simpul mendengar embel-embel bapak dokter.
“Kangen”
Lia menghentikan makannya seketika. Seumur-umur mereka pacaran baru kali ini Lia mendengar langsung dari mulut Rama bahwa dia kangen.
“Ha?”
“Kangen Lia.”
Diam.
“Rama kangen Lia.”
....
Lia masih terpaku dengan kata-kata Rama tadi, setelah pengakuan Rama, Lia diam dan hanya tersenyum. Rasanya apa yang selama ini dia tunggu perlahan datang. Meninggalkan Rama di ruang tamu sendirian dan Lia masuk ke kamarnya untuk bersih-bersih. Setelah kembali yang dia lihat adalah pemandangan Rama sudah pulas di sofa dengan tv menyala, lelaki itu pasti amat kelelahan ditambah lagi jam 8 pagi dia sudah harus kembali ke rumah sakit.
Saat ini sudah pukul setengah empat pagi dan Lia juga sudah tidak bisa kembali tertidur. Akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja yang juga menjadi satu dengan ruang tamu di mana tempat Rama tertidur. Jika subuh seperti ini Lia amat menyukai pemandangan dari apartemennya ini, walaupun langit Jakarta yang tertutup polusi tetapi dia masih bisa melihat bagaimana matahari perlahan muncul di waktu-waktu menjelang pagi ini menjadi favorit Lia.
Setelah pekerjaannya selesai sambil menunggu matahari Lia memutuskan mengambil eskrim. Eskrim, matahari terbit, dan secangkir kopi, ah tidak lupa pula anugrah Tuhan yang maha baik saat ini, Rama yang sedang tertidur di sofanya. Sedang asik memandangi langit sambil menyuap sesendok eskrim vanila itu,
“Siapa yang bilang eskrim pagi-pagi itu baik Lia?” Suara serak Rama benar-benar membuat Lia terkejut.
“Hehe… Mau Ram?” Menawarkan adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan saat ini. Dia sudah tahu bakal kena omel, kebiasaannya ini memang agak susah diubah. Hanya orang-orang yang pernah menginap yang tahu dengan kebiasaan ini, tentu saja yang paling mengomel adalah ibunya.
Tiba-tiba saja manusia bernama Rama ini melakukan peregangan membuat bajunya sedikit terangkat. Lia buru-buru kembali menghadap eskrim dan jendela, tidak tahu apa yang dilakukannya, yang jelas dia malu!
Rama melihat itu tersenyum dan menghampiri kekasihnya yang masih menatap eskrim vanila itu.
“Morning Li.” Rama mengusuk pelan kepala Lia lalu memberikan kecupan ringan pada keningnya. Untung saja eskrim yang sedari tadi menjadi pusat perhatian Lia tidak jatuh ke bawah.
“Ih Ram.. itukan kopi aku, kamu kalau mau aku bikinin yang lain aja” Lia sudah siap mengambil kopi paginya, namun belum sempat dia mengambil kopi itu Rama sudah lebih dulu menyentil keningnya.
“Diihhhh, tadi di cium gak ada lima menit udah kena sentil aja gue.” Si empunya kening mengaduh pelan.
“Siapa bilang boleh ngopi, itu perut duh. Bandel banget, kalo gini gak jadi dinikahin”
Ucapan Rama sontak membuat Lia membeku. Dia gak salah dengarkan? menikah? Oh.. ayolah... Lia tahu sesibuk apa Rama walaupun sudah mengucap sumpah dokternya tetapi dia saat ini sedang menempuh spesialisnya.
“Duhh... hati manusia ini. Jangan dibecandain pagi-pagi.” Ucap Lia berlalu berjalan ke arah dapur untuk membuat sarapan buat mereka berdua.
“Siapa yang becanda? ini malah kayak aku yang dibecandain. Kamu gak mau nikah sama aku?”
“Ya mau Ram.. tapi liat deh kamu masih studi juga”
“Yang bilang sekarang langsung nikah juga siapa? kamu yang ngebet nikah sama aku?”
Lia heran banget sama pacarnya ini, nyebelin banget. Ketambahan dia ngomongnya udah kayak gak ada beban, datarrrr banget. Kan dia duluan yang ungkit-ungkit nikah.
“Terserah.” Mendengar jawaban Lia, Rama tersenyum singkat lalu bergegas ke kamar mandi.
Walaupun Rama itu patut kena ambek pagi tapi sepertinya Lia tetap menggoreng yang menjadi sarapan mereka pagi ini. Ayam kuning yang hanya tinggal digoreng saja menjadi menu mereka, hasil Lia memalak ayahnya yang jago masak.
Rama datang dengan setelan semalam dan aroma sabun yang biasa digunakan Lia juga sekarang tercium di meja makan itu.
“Liii ayok sarapan dulu.”
Lia yang sedang membereskan meja kerjanya langsung menuju meja makan.
“Ayam Papa ya?” Tanya Rama.
“Iya, cobain yaa?” Senyum Lia langsung mengembang melihat Rama yang sudah rapih, seolah lupa akan kesalnya tadi.
“Kangen Papa yaa?”
“Iya ih Ram udah lama gak ke Bandung.”
“Yaudah Sabtu kamu ke Bandung aja.”
Lia terlihat berpikir sejenak, persediaan makanannya juga sudah habis. Sepertinya weekend ini gak banyak kerjaan juga.
“Iya aku Sabtu ke Bandung deh.” Dia langsung menghubungi ayahnya melalui pesan singkat untuk mengabari.
“Kalo gitu Minggunya aku sama Ayah Bunda ke Bandung ya.”
Pernyataan Rama kali ini sukses membuat hp yang digunakan Lia meluncur indah.
“Kamu kenapa sih? hp kok main dijatuhin gitu.” Rama mengambil hp tersebut sambil mengecek apakah hp malang tersebut masih bisa digunakan, masih bisa. Hp mahal gak mungkin rusak dengan sekali jatuh begitu.
“Ngapain sama Ayah Bunda?” Lia bertanya walaupun hal yang dimaksud oleh Rama sudah jelas.
Tau pertanyaan yang terlontar dari Lia itu serius Rama menaruh hp tersebut dan menatap Lia. Semua perempuan itu memang harus diberitahu secara gamblang apa ya? Yakan udah jelas kalau orang tua bertemu artinya mau meminta izin untuk yang lebih serius?
“Rammmm....”
Rama tersenyum, keadaan pacarnya kali ini menuntut penjelasan. Rambut coklatnya yang panjang dicepol asal2an, tidak lupa celana training dan baju kebesarannya.
“Ya kalo orang tua kita ketemu tandanya apa?” senyum Rama menatap Lia dalam.
“Aku serius Lia. Kita bareng-bareng mulai semuanya yaa? Aku serius. Aku tau kamu khawatir, aku yang telat bales chat atau malah gak sempet bales kamu, aku minta maaf tapi bukan berarti aku gak serius atau bosen. Aku bener-bener sibuk. Aku mau buktiin dengan ketemu Ayah sama Papa kalau aku serius sama anak perempuannya.” lanjutnya.
Lia hanya terdiam dan mulai mengelurkan air mata. Rama yang melihat itu langsung panik. Setakut atau sesedih apapun Lia, dia belum pernah melihatnya benar-benar menangis seperti sekarang ini. Rama memeluk kekasihnya.
“y-ya ampun Rama kalo tau kamu mau ngomong ini kan aku bisa mandi dulu.. gak jelek banget ini.”
“Kan nanti cantiknya pas hari Minggu.”
suara tangisan yang berada di pelukannya makin menjadi.
“Loh kok malah main kenceng”
“Aku pikir harus aku yang lamar kamu, baru kamu mau nikah.”
Rama tertawa benar-benar tertawa bahagia.
“Enak aja, itu bagian aku. Aku tau kalau kamu gak suka ngebagi-bagi tugas perempuan atau laki-laki. Tapi tugas melamar itu punya aku yaa?”
Agak reda tangis Lia dan dia ikut tersenyum, menjauhi kepalanya dari dada bidang Rama yang sudah basah dengan air mata.
“Terus cincinnya mana?” todong Lia. Duh ini anak bener-bener.
“Yaa Minggu dong.” kali ini Rama benar-benar dibuat bingung.
“Iyadeh minggu aja, pas aku dandan juga rapih.” Lia melepaskan pelukannya, mencium pelan pipi Rama lalu kabur menuju kamarnya. Lia tidak pernah seberani itu.
Pintu kamar Lia terbuka kembali.
“Ramm.. jangan lupa yaa, bekas makannya ditaruh di cucian piring gak usah dicuci kamu udah ganteng mau ke RS soalnya. Hati-hati di jalan yaa! Aku mandi, kamu langsung tinggal aja.”
Lalu puntu itu kembali tertutup.
Lia dan sikapnya yang absurd. Rama tersenyum lalu segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Lia.
fin.
0 comments: