Hold You
Why was that so hard to say?
Now I can’t even say thank you anymore…
- I would, DAY6
Ah.. atau luka yang selama ini aku tanggung juga tidak akan pernah ada?
Jika kala itu aku menahan mu, akankah saat ini kita bersama?
Ah.. bahkan mungkin saat ini kita sedang tertawa.
Jika kala itu aku berada di samping mu, menurunkan ego ku, mampukah kamu bertahan?
Ah.. jika kala itu aku tidak egois mungkin saat ini kita bahagia.
Suara alunan musik radio menemani perempuan itu pulang menuju apartemennya.
“I would nya DAY6. Tumben banget udah lama.” Gumamnya sendiri.
Tanpa sadar dia menepikan mobil yang sedang dikendarainya di bahu jalan sebuah jembatan. Begitu saja dia memberhentikan mobilnya ketika lagu itu masih mengalun. Ketika lagu itu sudah mulai menuju akhir nadanya dia mematikan mesin mobilnya, mengambil sebuah rokok yang sudah lama tersimpan di sudut dashboard mobilnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir dia menggunakan rokok itu sebagai pelampiasannya.
Angin malam menyapa wajahnya yang kala itu sedang menghirup sebatang rokok.
Dia teringat lelaki itu lagi,
“Ngerokok terus kek gak ada hal yang bagusan dikit buat dijadiin pelampiasan.” Ucap laki-laki itu memerotes yang menjadi kebiasaanya ketika banyak kerjaan ataupun masalah.
“Apa dong? Minum? Having sex? Gue masih mending ya.” Jawab perempuan itu tidak kalah sengit, namun dia membuang puntung rokok yang tinggal separuh itu dan menginjaknya.
Kenangan hal itu membuatnya kembali mengulangi adegan membuang rokok yang sedang dihisapnya.
“Tau gak kenapa manusia diberikan kesedihan Dee?” Tanya laki-laki berparas tinggi dan berkulit pucat itu dengan tatapan memandang seorang pemulung yang sedang mengais sebuah tempat sampah.
“Ngerokok terus kek gak ada hal yang bagusan dikit buat dijadiin pelampiasan.” Ucap laki-laki itu memerotes yang menjadi kebiasaanya ketika banyak kerjaan ataupun masalah.
“Apa dong? Minum? Having sex? Gue masih mending ya.” Jawab perempuan itu tidak kalah sengit, namun dia membuang puntung rokok yang tinggal separuh itu dan menginjaknya.
Kenangan hal itu membuatnya kembali mengulangi adegan membuang rokok yang sedang dihisapnya.
“Kalau aku ngerokok salah kenapa kamu memutuskan untuk menyerah? Dasar Bodoh.” Lagi-lagi dia hanya mampu bergumam dengan dirinya sendiri. Lelaki itu yang menjadi pusat dunianya dengan bodoh meninggalkannya setahun yang lalu. Membuat luka yang begitu besar dan belum mampu untuk disembuhkan oleh si pemilik luka.
“Tau gak kenapa manusia diberikan kesedihan Dee?” Tanya laki-laki berparas tinggi dan berkulit pucat itu dengan tatapan memandang seorang pemulung yang sedang mengais sebuah tempat sampah.
Pandangan perempuan yang dipanggil Dee itu juga mengikuti arah pandang lelaki itu.
“Yaa.. supaya orang tau untuk berusaha. Supaya orang gak sombong dan gak ngelawan Tuhan. Lagian gak enak juga kok kalau selamanya senang Kal.” Sosok yang dipanggil Dee itu menjawab sambil menimbang-nimbang botol air kemasan yang sedang di pegangnya.
Lelaki yang dipanggil Kal belum menjawab Dee sudah mengambil langkah untuk menyebrangi jalan yang membentangi mereka dengan pemulung itu. Dari kejauhan Kal atau lelaki yang bernama Kale itu memandangi Dee yang memberikan botol kemasan yang sedari tadi dipegangnya dan beberapa lembar uang kepada pemulung itu tetapi ditolak oleh pemulung tersebut. Kale pikir Dee akan tersinggung dengan pemulung tersebut. Namun yang dilihatnya berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkannya, dia melihat Dee sebagai sosok yang jarang ditunjukannya kepada orang lain. Tersenyum hangat. Padahal orang terdekatnya saja belum tentu mendapatkan senyum itu.
“Aku kan belum jawab udah main tinggalin aja.” Protes Kale pada Dee sekembalinya dia dari pemulung itu.
Dee mengabaikan protes Kale.
“Dan terakhir kalau gak ada kesedihan, kita manusia susah bersyukur. Soalnya kita gak merasa kehilangan, gak merasa kesepian, gak meminta ke Tuhan. Tidak berterima kasih atas kehadiran seseorang di hidup kamu. Karena kamu gak ngerasa kehilangan, gak ngerasa kesenangan itu” Dee melanjutkannya sambil tersenyum menatap Kale.
“Cantik.” Satu kata yang terucap itu membuat Dee salah tingkah dan kembali menatap jalan.
“Makasihh Dee” Sosok Kale tiba-tiba memunculkan mukanya tepat di depan wajah Dee yang sudah memerah. Sontak saja membuat Dee kaget.
“Kalllleeeeee. Gue tampol yaaa.” Mendengar teriakan Dee membuat Kale berlari sambil tertawa.
Terima kasih Tuhan. Batin Kale.
Ingatan demi ingatan terus bermunculan. Kale sosok yang sedari tadi Dee pikirkan, sosok yang dengan pengecutnya meninggalkan Dee setahun yang lalu. Sosok yang amat sangat dibenci oleh Dee saat ini.
Aku jemput – Kale
Pesan yang diterima oleh Dee langsung dibalas supaya Kale langsung saja menuju tempat janjian mereka dan tidak usah repot menjemput Dee di kantor. Dee langsung membereskan meja kantornya dan bergegas.
Sepertinya dia membuat keputusan yang salah saat menolak Kale untuk menjemputnya. Sekarang dia harus terjebak di sebuah pohon untuk berteduh menuju halte busway. Dee mencari hpnya untuk menghubungi Kale.
“Kan udah aku bilang, aku jemput.” Suara Kale mengagetkan si pencari HP itu.
Pantas saja sejak tadi dia tidak merasakan lagi air hujan yang menetes. Kale dan payung hitam kebanggannya. Dee hanya tersenyum seperlunya, walaupun lelaki ini telah menjadi kekasihnya namun terkadang dia merasa asing dimanjakan oleh laki-laki lain.
“Ciee… malu ditemuin dipinggir jalan sama cowoknya yaa” Kale semakin menggoda perempuan itu.
“Kaleee.. berisik ahh.” Dee mempercepat langkahnya yang malah membuat dia menjauhi payung yang melindunginya. Kale hanya terkikik geli dengan tingkah Dee.
“Sini ah, jangan jauh-jauh nanti basah.” Tangan kirinya memegang payung dan tangannya menggenggam tangan kekasihnya yang berusaha menjauh karena malu.
Kenangan-kenangan itu membuat air mata perlahan jatuh membasahi pipi Dee. Perasaanya akan Kale benar-benar nyata setelah sekian lama dia berusaha menutup hatinya untuk siapapun yang mendekatinya. Hanya Kale yang membuat Dee yakin bahwa Dee bisa menjalani hidup dengan orang lain. Dee percaya dengan Kale.
“Tapi kenapa kamu gak percaya sama aku Kal…” Air mata terus membasahi jalan tempat Dee berdiri saat itu.
One more time, back to that day
Just one more day, back to that time.
If only I could go back.
If I could go back…
- I would, DAY6
“Kall… kamu gak ngertikan rasanya jadi aku? Aku cuma pergi enam bulan Kal buat proyek ini. Lagian ini bukan cuma proyek ada pelatihannya juga yang penting buat karir aku. Kok tumben sih kamu susah banget ngasi ijinya?!” Nada Dee sedikit berteriak. Pertengkaran mereka terjadi begitu saja karena keadaan memaksa mereka berpisah sejenak.
“Kamu gak ngerti Dee.” Jawab Kale dingin, seperti sosok yang tidak pernah Dee kenal.
Selama mereka menjalin hubungan ini memang Dee dan Kale tidak pernah berpisah hingga enam bulan lamanya. Belum lagi Dee menjalani pelatihan ini di negara yang berbeda.
“Yaa jelasin dong biar aku ngerti.” Dee benar-benar sudah habis kesabaran.
Sejak beberapa minggu ini sikap Kale berubah menjadi lebih dingin dan lebih protektif, seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Dee.
“Aku udah cukup sabar yaa Kale… Beberapa minggu ini kamu aneh, mulai ngejauh, aku tanya kamu kenapa, kamu jawab malah gapapa. Aku minta izin sama kamu keluar makan malam sama sahabat-sahabat ku kamu juga tiba-tiba marah gak jelas. Kamu tuh ada masalah apa sih?” Dee merasa dia sudah cukup sabar beberapa minggu ini menghadapi Kale yang berbeda.
“Aku gapapa. Dan aku gak ngijinin kamu buat pergi ya Dee. Gak akan.” Kale pergi begitu saja ke dalam kamarnya dan meninggalkan Dee seorang diri di ruang tamu apartemennya.
Biasanya Kale akan bertanggung jawab mengantar Dee untuk pulang, sepertinya malam itu tidak akan ada lagi Kale yang mengantar Dee pulang juga Kale yang usil dan hangat secara bersamaan.
Dee berusaha menggigit dalam pipinya agar isaknya tidak sampai terdengar. Namun sepertinya yang dia lakukan sia-sia. Tangisnya beberapa kali membuat pejalan kaki yang melewatinya menengok ke arahnya.
I would hold you
So you won’t be apart for me
For even a moment
I would give you my everything
- I would, DAY6
Sore itu sepertinya mengerti bahwa ada perasaan yang ditinggalkan tanpa peringatan. Ada manusia-manusia yang seolah diberi peringatan oleh Tuhan karena terlalu individual dalam hidupnya. Sore itu juga seperti hukuman buat sesok perempuan yang sedari tadi tidak bergerak dari samping batu nisan yang bertuliskan Kale Ravindra. Dia hanya berdiri menatap batu nisan tersebut tanpa ekspresi. Tidak ada tangis maupun senyuman, namun muka pucat dan tatapannya seolah berbicara bahwa ada beban dan luka baru yang tidak akan pernah mudah untuk sembuh.
Dee merasa semua itu adalah hukuman. Kenapa Kale dengan mudahnya menyimpan itu semua dari Dee. Dee dibiarkan untuk pergi selama enam bulan ini tanpa tau kabar kekasihnya. Bahkan Dee tidak pernah tau bahwa Kale sedang berjuang. Sampai dia mendarat kembali ke negaranya dia hanya terima satu pesan dari Kale.
Terima kasih. I love you. You know right? :)
Dee berusaha mencoba menghubungi nomer yang mengiriminya pesan. Bahkan dia hanya menaruh kopernya saja lalu langsung menuju apartemen Kale. Yang didapatnya adalah keluarga Kale sudah berkumpul dengan beberapa pihak kepolisian.
Dee tahu sejak itu bahwa Kale sudah tidak ada. Dia memutuskan untuk berhenti berjuang yang bahkan Dee tidak pernah tau kalau Kale berjuang. Lia, kaka Kale menghampiri kekasih adiknya itu. Lia salah satu kaka Kale yang paling mengkhawatirkan Dee. Bahkan Lia berharap kalau Dee tidak usah kembali hari itu. Biar saja dia tahu dan tidak melihat jasad adiknya yang sedang dievakuasi. Lia takut Dee akan terluka dan melakukan hal yang sama. Tapi harapannyapun tidak seperti yang diharapkan. Dee melihat semuanya dan mematung.
“Maafin Kale yaa Dee” Lia langsung menghampiri kekasih adiknya itu dan memeluknya.
Dee tidak pernah tau bahwa selama ini Kale berjuang melawan suara-suara yang bersarang di kepalanya dan semakin memburuk ketika tau kalau Dee akan pergi. Dee tidak pernah tau bahwa Kale berjuang sendirian, dan Dee tidak pernah peka untuk menanyakannya. Merasa egois menganggap Kale tidak mengerti dengan apa yang Dee inginkan. Kale menyimpan itu semua sendiri tanpa Dee diberikan untuk membantu menyembuhkan luka itu.
Gambaran-gambaran masa lalu itu berputar kembali dengan jelas diingatan Dee.
“Lo bahkan gak ngasi gue kesempatan Kal. Gak pernah ngomong mau apa, gak pernah buat gue ikut berjuang sama lo. Kamu gak pernah ngasi aku kesempatan untuk ngelarang kamu pergi. Atau aku yang terlalu bodoh tidak pernah menangkap semua sinyal itu?” Runtuh sudah pertahanan Dee badannya luruh, tertunduk menangisi apa yang selama ini memang harus ditangisi. Menghancurkan pertahanan yang selama ini dibuatnya.
When you were leaving me
I souldn’t have let you go
- I would, DAY6
0 comments: