Air Matcha.
"Ayo putus." Ucap ku secara tiba-tiba setelah dia menyelesaikan seluruh pekerjaannya dengan tenang.
"Kamu mau putus kah?"
"Apa dipikiran kamu ketika aku minta putus?"
Dia menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang.
"Aku adalah salah satu bahan pikiran kamu yang semakin berisik akhir-akhir ini. Melepaskan aku, berarti memberikan ruang untuk pikiran kamu tidak berisik."
bodoh. Senyum ku mendengar tutur isi pikiran yang begitu jujur. Memiliki perasaan sayang pada seseorang akan sangat wajar jika memilih untuk melepaskan diri darinya terlebih merasa diri sendiri hanya menjadi beban orang yang disayangi.
"Memangnya kalau aku ada dengan keadaan yang baik-baik saja, pikiran kamu masih tetap berisik?" tanyanya pada diriku yang ikut menatap langit-langit.
Jika tentang aku, maka ada tidak ada kamu aku akan terus menerus melawan aku.
Aku yang sekarang ini hanya sedikit lebih kuat karena ada orang yang menutup kedua telinga ku saat semuanya terdengar sanagt riuh. Saat semua bahkan dunia menyerang aku bertubi-tubi. Ada seseorang yang meyakinkan aku kalau aku bisa melawan lebih kuat lagi, sedikit lagi untuk bertahan. Aku memiliki tujuan.
"Tetap berisik."
"Tapi jika tidak ada aku sebagai beban yang kamu pikul akan lebih ringan kan? karena melepaskan aku menyelesaikan masalah."
Lagi-lagi pemikiran bodoh, berulang-ulang aku terpikir oleh pikiran itu.
Bukan kah aku ini hanya beban di kehidupan seseorang? atas dasar suara berisik itu aku tidak pernah bisa bertahan dalam suatu hubungan. Aku dulu terlalu takut untuk menyusahkan dan membuat seseorang lelah. Karena takut akan ditinggalkan dengan alasan "Aku capek sama kamu."
Aku menghadapi aku sudah sangat melelahkan. Apalagi orang lain.
Teringat dari drama Our Beloved Summer ketika Younsu meminta putus pada Ung. Alasan Younsu "Karena hanya kamu satu satunya yang bisa aku singkirkan." yang padahal Younsu ga mau Ung tau kenyataan pahit susahnya dia dalam menghadapi hidup.
Pertanyaan mu membuat aku sepersekian detik berfikir, haruskah aku benarkan saja bahwa melepas mu adalah satu satunya jalan keluar ku. Haruskah aku membiarkan kamu berakhir dengan pikiran jahat bahwa kamu adalah masalah dalam hidup ku? Bahwa kamu adalah satu-satunya yang bisa ku singkirkan untuk aku bisa hidup. Yang harus aku korbankan?
Aku menatap kamu, melihat raut wajah melelahkan. Pasti menjadi minggu yang panjang. Untuk berbicara seperti ini dalam kondisi baik-baik dan emosi sangat tenang dan segala macam pikiran yang harus dilawan.
"Berarti aku juga masalah? aku adalah beban yang saat ini mau kamu lepaskan?"
Pandangannya mengarah pada ku, "Jujur akhir-akhir ini aku capek. Kamu sengajakan bikin aku capek sama mood ga jelas kamu? kamu pasti sengaja juga kan tiba-tiba mau ini itu. Terus tiba-tiba ngambek? kamu sengajakan bikin aku capek?" Nada mengancam dan sedikit bercanda terdengar dari tubuh hangatnya.
Aku tertawa namun satu tetes air mata ku berhasil lolos dari salah satu mata ku.
Aku terlalu sibuk untuk memikirkan cara ku bertahan.
Banyak hal yang bisa dilakukan bersama-sama untuk saling bertahan, tetapi mungkin terlalu berat dilakukan bersama ya?
Walaupun memang terasa berisik sekali, tapi bersama kamu aku bisa berkata kepada aku, ayo hidup sedikit lebih lama. Entah apa yang akan kita lewati ke depannya, baik buruk aku harap kamu kuat menjalaninya.
"Loh kok nangiss sihh. Coba liat ke atas, itu ada cicak. Sayang... jangan nangis."
Aku tersenyum namun air yang mengalir semakin tidak bisa aku hentikan.
"Sayang nanti airnya jadi ijo, jadinya air matcha."
Terima kasih yaa sudah hadir. Rasa syukur ku pada Tuhan karena dalam cerita hidupku bisa saling mengisi dan menguatkan untuk bertahan bersama.
0 comments: