Sayang.
Masih lama? Aku udah tunggu kamu di cafe depan kantor kamu.
Mas, maaf. Mungkin setengah jam lagi aku baru selesai. Kamu balik duluan aja nanti aku susulin di rumah?
Gapapa. Aku tungguin aja.
Hatiku kembali menghangat ketika membaca pesan itu. Sekitar dua minggu yang lalu, saat ia berinsiatif untuk menjemput ku.
Sekarang yang terjadi aku hanya mampu melihat-lihat isi pesan manis yang ada di roomchat itu. Beberapa hari yang lalu kami bertengkar hebat. Akibat ulah ku sendiri. Walaupun ia sudah menerima permintaan maafku. Namun masih terdapat hal yang mengganjal. Yaa penyesalan-penyesalan itu terus bermunculan. Merasa tidak berhak menerima lagi kasih sayangnya karena semua adalah salahku. Dan ketika aku sedang merindukan sosok hangatnya, aku hanya bisa melihat pesan-pesan singkat itu.
Aku begitu merasa sangat dicintai. Aku terus menerus merutuki kebodohan ku sendiri yang merusak hubungan ini. Berjuang dan diperjuangkan.
Kali ini air mata ku biarkan kembali lolos, sesak di dada tiada henti. Entah siapa lagi yang patut disalahkan. Karena hanya diri sendiri yang benar-bener bisa disalahkan. Tidak... bukan perasaan ingin menghilang dari muka bumi ini. Perasaan bersalah teramat-amat dan terus menerus merasa diri tidak bisa menuntut apa-apa, menyepelekan semua perasaan yang aku rasakan. Karena tidak ada artinya daripada rasa sakitnya. Terus menerus menghantui dalam diam dan dalam tangis yang tak mampu terucap.
Hari itu... ketika aku mengirimkan pesan kalau aku sudah selesai dan akan menghampirinya di cafe itu, dia sudah siap di depan cafe dengan matcha hangat dan payung di tangan kanannya. Aku ingat dimana hujan tidak turun namun udara seperti sedikit tidak bersahabat, angin terkadang cukup kencang seolah mengatakan akan siap kapan saja menurunkan hujan.
Senyum hangat menghampiri ku, aku mengambil matcha hangat yang ada di tangannya.
"Capek banget?"
"hmmm.. lumayan. Pas kamu chat aku udah mau balik. Si botak ga sabaran itu ngasi revisian. Jadi mau ga mau aku kerjain dulu."
"Hush... ga boleh gitu. Biar botak kan bos kamu juga. Kinerja kamu sama bonus dari dia juga."
"Abisnya nyebelin."
Dia tersenyum mendengar ku mengomel. Diantara banyak senyumnya, favorit ku adalah senyum lebarnya ketika kami sama-sama tidak memikirkan dunia hanya ada aku dan dia membicarakan hal-hal konyol atau tebak-tebakan random. Aku semakin merindukan dia. Merindukan kami...
"Jadi mau kemana kita? langsung pulang?" tanya ku ketika kita sudah sampai di mobilnya.
"Liat laut favorit kamu."
"Hmm... emang kamu ga capek? tumben ga mau langsung pulang?"
Kembali senyum itu, ia menatapku lalu mencium ujung hidungku.
"Kita liat laut sebentar sambil kamu abisin matcha, terus pulang yaa?"
Aku mengernyit menatapnya. Sepertinya yang lebih butuh liat laut adalah dia bukan aku.
"Baiklah tuan muda. Kita liat laut."
Dia tertawa kecil mendengar ku menyebutnya tuan muda.
Kembali lagi-lagi aku mengingat hari itu. Apakah dia bahagia selama ini bersamaku? Apakah aku terlalu menyusahkan hidupnya yang tenang? Apakah aku adalah beban yang sudah saatnya untuk dilepaskan? pakah aku telah merusak semuanya? Apakah semua bisa diperbaiki? Apakah bisa penyesalan itu ku perbaiki? Apakah semua ini yang aku mau? Apakah aku kembali mampu untuk baik-baik saja setelah semuanya terjadi?
Ingin rasanya aku kembali ke masa dimana aku bisa mengerti apa yang dia rasakan dan menghentikan berisiknya dunia. Rasa sesak yang ada saat ini menghentikan ku untuk bernafas, memaksa ku masuk ke dalam lubang penuh penyesalan tak tertahankan. Melelahkan.
Terkadang aku hanya ingin berada di sampingnya memeluk salah satu lengannya dan menangis. Menumpahkan seluruh lelahku di salah satu pundaknya. Tanpa ada pertanyaan kenapa atau apa... karena untuk menjelaskan dan ku urai isi pikiran ini menjadi kata-kata sudah tidak bisa ku lakukan. Kembali merasakan pelukan itu dimana hanya ada aku dan dia. Pelukan yang bisa menenangkan aku, kalau semuanya bisa kami lalui. Bisa karena saling memiliki.
Sekarang yang bisa kulakukan bertahan hidup memaksakan udara masuk di sela-sela sesak ku. Tetap hidup. Memaksa Tuhan untuk memberikan aku waktu kembali hari demi hari. Tak apa dengan rasa sakit disekujur tubuh yang bisa ku tahan. Tetapi tetap hidup.
Karena dengan hidup dan terus berjalan aku meminta maaf dan hidup dengan penyesalan. Berharap kami bisa kembali lebih baik. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika bukan hanya kehilangan dirinya, tapi perlahan-lahan aku kehilangan diri ku sendiri.
"Aku sayang kamu."
"Aku pernah bilang kan jangan bilang sayang kalau kamu ga benar-benar sama kata itu."
"Aku sayang kamu." kembali aku ulangi kata-kata itu.
Di bawah langit orange, suara deburan ombak. Wajahnya yang terpapar sinar orange, Tuhan... aku benar-benar menyayangi lelaki berbaju biru muda di hadapan ku ini.
"Aku benar-benar sayang kamu."
0 comments: