Kesempatan Itu Tidak Pernah Dimilikinya.
"Kamu ga punya waktu. Kamu bahkan tidak lagi mempriortiaskan kita. Pertemuan-pertemuan hanya berisikan suara angin dengan layar dan kesibukan masing-masing." Aku menatap matanya tepat dimanik mata berwarna cokelat muda itu.
"Bertukar pesan hanya kewajiban yang harus dipenuhi karena aku menuntut kabar mungkin. Jika tidak mungkin kamu tidak akan pernah mengabariku. Ah, pernah kamu sama sekali tidak mengabariku. Berkali-kali aku berkata pada diriku, apakah aku terlalu menuntut dengan semua ketidaksempurnaan ini? Apakah aku sudah muali merasa meiliki apa yang sebenarnya tidak ku miliki."
Dia masih tediam melihat ku, aku berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan air mata yang sudah mengalir. Setengah mati tidak memperlihatkan kalau aku sangat terluka. Aku menyesali seluruhnya. Aku menyesali kenapa harus ada pertengkaran demi pertengkaran.
"Kapan? Kapan kita pernah berbicara seoal kita? Kapan kita punya waktu yang proper hanya untuk kita berdua? Kapan?" Ku tanya dia dengan putus asa. Tidak pernah rasanya aku berada dihubungan seputus asa ini. Hubungan ini sebelumnya tidak pernah membuat ku merasa seputus asa ini. Karena aku tahu dia ada, selalu ada bersama aku.
"Maaf yaa..." Jawabnya.
Hanya maaf yang mampu dia ucapkan lalu memeluk ku erat.
"Kapan? Kapan aku bisa punya waktu yang benar-benar berdua walau sebentar saja... sebentar. Aku tidak menuntu apapun. Hanya mengobrol berbicara tentang kita. Saling menguatkan, menceritakan kesibukan masing-masing, saling menatap satu dengan lainnya. Aku bahkan tidak menutut waktu kamu sendiri, waktu kerja kamu, waktu kamu bersama orang lain. Tapi kamu tidak bisa menyediakan sedikit waktu aja buat aku. Bahkan ketika beberapa pekerjaan sudah selesai? Ketika aku mengatakan aku butuh kamu. Kamu tidak bisa berlari dengan tiba-tiba berada di depan ku, kamu tidak bisa mungkin meminjam pintu doraemon untuk sekedar menenangkan tangisku. Kamu tidak bisa lagi bersama ku." Teriak ku sangat-sangat putus asa.
Entah kapan terakhir kali aku menangis sebegitunya. Mengasihani diriku sendiri yang menuntut perhatiannya. Mengasihani aku sendiri yang sangat merindukannya. Mengasihani diriku sendiri yang terlalu dalam jatuh padanya. Mengasihani diriku sendiri yang membutuhkan orang yang tidak membutuhkan aku. Terakhir kali... hanya terakhir kali aku menginginkan ini, hanya untuk satu orang terakhir ini saja Tuhan. Seperti doa-doa ku sebelumnya hanya untuk satu orang terakhir ini saja. Tidak lagi ada yang baru atau yang lainnya hanya orang terakhir ini saja.
Menyayangi seseorang seharusnya tidak semelelahkan inikan Tuhan? Aku tahu memperjuangkan ini berat maka ku minta melaluinya bersama-sama. Perihal sama-sama yang mana yang tidak dimengertinya? Atau perihal sama-sama mana yang darinya yang tidak ku mengerti?
Aku menyerah, sebagaimana aku menuntut hak ku, waktu ku (yang ternyata tidak pernah ku miliki).
.
.
.
Itu menjadi pertengkaran terakhir mereka.
Lelaki itu hanya mampu menatap nisan yang ada di depannya. Tidak menangis juga tidak menyalahkan apapun atau siapapun. Mengumpat dan menyalahkan dunia dia sudah tidak memiliki tenaga.
Tidak bisa diselamatkan. Sudah tidak ada 'kita' yang tidak dapat lagi diperjuangkan. Definisi sama-sama keduanya telah mati.
Tidak ada penyesalan, tidak ada kesedihan. Hanya hening yang panjang.
0 comments: